_____ Nah, berkas-berkas udah beres, tapi apa sih yang masih mengganjal? Yup, dosbing yang akan membimbing kita saat nanti belajar di Jepang. Sewaktu di Tsukuba dulu, aku pernah diceritain Pak Supri (Dosen IPB yang lagi S3 di sana) kalau di Jepang itu baiknya kenalan dulu dengan profesornya (yang kadang lebih akrab disapa “sensei” ) , minimal bisa buat daftar beasiswa MEXT Research Student U2U, maksimalnya yaa semua beasiswa diicipin 1 per 1. Karena itu, aku mulai “berburu” profesor sejak 2 bulan sebelum seleksi beasiswa MEXT dibuka (karena waktu itu lagi iseng aja, eh gataunya beneran jadi serius mendaftar beasiswa). 2 bulan bukanlah ketetapan yang mutlak harus dilakukan karena toh nanti ada masa dimana kita memang harus berhubungan dengan calon pembimbing kita, yaitu setelah dinyatakan lolos tahap wawancara hingga batas pengumpulan berkas ke-2. Daripada “berburu” di waktu yang singkat tersebut (dan syukur-syukur langsung diokein oleh beliau), bukankah lebih baik kalau berkenalan lebih awal?
_____ Singkat cerita, aku mulai mengontak tempatku belajar dulu, di University of Tsukuba. Karena dulu belajarnya bukan tentang pangan dan pembimbingnya pun bukan profesor yang bidangnya nyerempet dengan ranah keilmuanku, maka mau tidak mau aku harus mencari dan berkenalan dengan dosen lain. Aku pun bertanya kepada pembimbingku dulu maupun teman-teman PPI Ibaraki yang masih ada di Tsukuba, khususnya yang jurusannya 1 fakultas dengan jurusan tujuanku (makasih Vanya, Eli, Raka). Terdapat beberapa orang yang mereka rekomendasikan, diantaranya 1 orang profesor dan 2 orang associate professor. Berdasarkan sarannya, lebih baik mengontak yang bergelar profesor (教授, kyōju) terlebih dahulu karena beliaulah pemegang kunci emasnya, baru kemudian mengontak associate professor (准教授, junkyōju) sebagai pemegang kunci peraknya ataupun assistant professor (助教、jokyō) sang pemegang kunci perunggu jika sang profesor belum kunjung membalas kontaknya. Barulah disitu aku mulai berniat menghubungi profesor tersebut. Selain itu, penting juga diperhatikan bidang keahlian atau expertise nya profesor tersebut berada di ranah apa.
Gimana cara mencari profesor yang sesuai bidangnya? Nyari kontaknya gimana, kan aku belom kenal?
Netijen pengen kenalan
_____ Tidak harus pernah punya pengalaman ke Jepang atau kenalan dengan profesornya saat berkunjung ke Indonesia kok untuk mengontak karena sekarang sudah ada teknologi bernama Internet. Ya, cukup buka website kampus yang kamu ingin kepoin, cari daftar tenaga didik yang ada di tiap fakultas dan tada~ ketemu deh informasi seputar tenaga didiknya, mulai dari gelar, bidang keahlian, kontak yang bisa dihubungi (biasanya email), publikasinya, bahkan media sosialnya juga kadang ada (biasanya website atau blog. Instagram, tiktok, atau lainnya gak selalu ada, jangan terlalu ngarep deh). Tak jarang ada yang memasang publikasinya di website atau blognya, lengkap dengan anggota lab, peralatan yang ada di lab, bahkan dokumentasi kegiatan di labnya. Jadi, nggak susah kan untuk mencari tahu harus mencari siapa dimana dan menghubungi melalui apa?
_____ Tidak hanya bertanya pada teman-teman di Tsukuba, aku juga bertanya pada Bang Sutan yang berada di Kyūshū University. Beliau mengatakan bahwa untuk “PDKT” dengan profesor, lebih baik kita jangan mengirim email mentah. Ia pun menceritakan pengalamannya “berburu” profesor hingga bisa bertemu dengan profesornya yang sekarang. Dari penjelasannya, ada baiknya kita menyertakan hal lain sebagai bukti yang kredibel atas identitas kita (biar lebih menggoda laa~). Hal yang dimaksud antara lain:
1 . Subjek dan Isi email yang relevan
2. Rancangan penelitian
3. CV
4. Berkas penunjang lain (bila dirasa perlu)
_____ Mula-mula aku menyusun rancangan penelitian yang akan kukirim ke beliau (profesor yang ada di Tsukuba). Rancangan penelitian yang kukirim secara pribadi kepada profesor tersebut tentunya memiliki format yang lebih luwes dibandingkan dengan yang digunakan untuk seleksi berkas MEXT sebelumnya karena kita bisa lebih menambahkan pengalaman kita, motivasi kita, dan hal lainnya, apalagi memang tidak ada batasan halamannya. Meski begitu, tetap buat rancangan penelitian tersebut singkat dan mudah dibaca (maksimal 3 – 5 halaman cukup lah) karena kalau terlalu panjang seperti proposal skripsi kebanyakan orang (proposalku sih singkat banget ya, sori wkwk), takutnya malah memberikan kesan “ini anak siapa sih, kenal enggak, tapi udah ngasih bacaan panjang-panjang”. Aku sendiri menyusun rancangan penelitianku sebanyak 3 halaman berbahasa Inggris dan 2 halaman berbahasa Jepang (dalam 1 file) sebagai terjemahannya. Format tulisannya sih standar saja, tidak perlu pakai huruf yang terlalu alay. Aku pakai Times New Roman 12 pt untuk Bahasa Inggris dan Yu Gothic 12 pt untuk Bahasa Jepang (bisa juga pakai Yu Mincho untuk Bahasa Jepangnya biar lebih memberi kesan formal, cuma aku tidak suka karena di rancangan penelitianku ada beberapa kanji yang dibacanya sangaaaaat rapet untuk ukuran 12).
Kenapa harus repot-repot bikin 2 bahasa woi?
Netijen sewot
_____ Yah, his name is also effort namanya juga usaha. Ingat, untuk memberikan daya tarik lebih, kita harus tampil beda, jadi nggak ada salahnya untuk berusaha lebih karena toh hasil (biasanya) tidak menghianati usaha. Karena secara garis besar isinya sama dengan yang kutulis untuk seleksi berkas di postingan sebelumnya, maka aku tidak perlu panjang lebar menjelaskan di postingan ini (walaupun sebenarnya rancangan penelitian untuk profesor adalah cikal bakal rancangan penelitian untuk seleksi berkas karena dikirim jauh sebelum seleksi berkas MEXT dimulai). Sambil menyusun rancangan penelitian, aku juga menyusun CV ku. Aku membuat 2 jenis CV, yaitu CV berbahasa Inggris dengan desain yang lebih berwarna dan kreatif, serta CV berbahasa Jepang dengan desain yang sangat polos dan terstandar begitu adanya (emang gitu sih, biar ga ada diskriminasi CV berdasarkan desain pas ngelamar kerja)
_____ CV Bahasa Jepang yang kukirimkan mengambil template dari CV untuk lamaran kerja di Jepang. Isinya tentu aja sebagian besar sama, mulai dari data diri, riwayat pendidikan & karir, surat izin & sertifikasi, hobi & kemampuan khusus, penjabaran diri, hingga harapan akan kebutuhan khusus. Bagian yang akan paling berbeda adalah penjabaran diri sendiri karena pastinya akan kita isi dengan hal yang berbau akademik, bukan berbau dunia karir. Di bagian itu, aku isi sedikit tentang pengalamanku belajar dan ngelab sewaktu kuliah, dilanjutkan dengan sedikit garis besar ide risetku yang akan dilakukan di Jepang, dan diakhiri dengan motivasi melamar ke lab profesor yang dituju. Tentu saja CV ini tidak harus diisi dengan Bahasa Jepang, jadi bagi yang ingin mengunduh template nya dan mengisinya dengan Bahasa Inggris (atau Bahasa Indonesia juga mungkin) silakan mampir ke postingan tentang hal tersebut pada (lihat: Menulis CV ala Jepang). Siapa tahu dengan membuat CV yang ala-ala Jepang bisa meningkatkan daya tarik kita karena sudah berusaha mempelajari budayanya, hehehe.

_____ Setelah sekian lama mencari universitas dan profesornya, akhirnya aku menemukan 5 universitas yang sekiranya memiliki profesor yang sesuai bidang keilmuannya dengan minatku. Aku pun mulai mengirim 1 per 1 ke universitas tersebut. Karena ada universitas yang memiliki lebih dari 1 profesor yang bidang keilmuannya sesuai minatku, jadi aku mengirim ke lebih dari 1 profesor di universitas tersebut. Akhirnya beres juga mengirim 10 email. Selang beberapa hari kemudian, barulah mulai ada yang membalas, “Mohon maaf, lab saya sudah penuh sehingga tidak bisa menerima orang lagi”. Yaah~ OK gapapa, yuk tetap semangat “berburu” profesornya.
_____ Selang seminggu, 2 minggu, akhirnya mulai bermunculan jawabannya meski sebagian besar tidak membalas (hanya 3/10 yang membalas). Sayangnya, harapanku yang awalnya bisa ke Tsukuba lagi, kini telah kandas karena aku melakukan kesalahan fatal. Bukan ide proposalnya yang jelek, bukan kesalahan tata bahasa Inggris maupun Jepangnya, tapi salah NAMA. Ya, di CV berbahasa Jepang terdapat kolom 志望動機 (shibōdōki, alasan melamar) yang berisi penjelasan diri sendiri dan minat kita melamar di tempat kerja tersebut (dalam hal ini lab profesor). Rupanya, aku menuliskan nama yang salah, yaitu nama dari profesor kampus lain, bukan karena salah dalam menuliskan kanjinya (beberapa kanji punya cara baca yang sama), tetapi kanji yang kutulis memang kanji yang benar-benar berbeda (baik arti maupun cara bacanya). YA! Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga, hanya karena salah 1 kata nama keluarganya saja dari sekian banyaknya kata yang kutulis di rancangan penelitian dan CV. Bahkan, namanya yang lkutulis di kalimat sebelum maupun setelahnya, serta yang kutulis di rancangan penelitian benar, tidak ada salah. Aku pun meminta maaf pada beliau dengan menuliskan bahasa yang se-keigo mungkin, se-kromo inggil mungkin, tapi ya nasi sudah jadi bubur, tidak bisa di restart atau factory reset. Aku pun merenung selama hampir seminggu dan tidak menyentuh apa-apa yang berkaitan dengan “berburu” profesor (entah itu CV, rancangan penelitian, atau rancangan email untuk profesor selanjutnya) untuk refleksi diri. Huft~
INGAT!!! Jangan sekali-kali asal copas dari 1 tulisan ke tulisan lainnya tanpa pemeriksaan secara menyeluruh berulang kali!
Aku
_____ Galau boleh, tapi jangan kelamaan cuy! Ya, aku anggap ini adalah pelajaran berharga untuk selalu memeriksa kembali segala hal, tidak hanya yang kutulis dalam Bahasa Inggris, tetapi juga yang kutulis dalam Bahasa Jepang untuk selanjutnya. Aku pun mulai membuat rancangan penelitian lagi, dan lagi, memperbaiki CV ku, serta memeriksanya berkali-kali. Bahkan, kini aku meminta tolong Bang Sutan untuk memeriksa bagian Bahasa Inggrisnya, tidak hanya untuk kata yang typo, tetapi juga kalimat yang tidak padu. Email ke-11, 12, dan seterusnya pun kukirim 1 per 1. Keesokan harinya, email ke-11 ku mendapat balasan yang cukup baik. Terdapat profesor dari Kobe University yang ingin mengenalku lebih lanjut dan mengajakku video call.
_____ Di hari video call, tepatnya jam 6 sore (Ya, yang menentukan jadwalnya profesor sendiri), aku sudah dalam kondisi sudah mandi dan siap di depan kamera dengan kemeja rapi, lengkap dengan dasi dan cardigan hitam di kamarku. Kamera laptop, check, sinyal, check, mic di earphone, check, semuanya beres. Awalnya masih agak kaget karena “wawancara” dilakukan dengan Bahasa Jepang sedangkan aku masih agak lag dan butuh waktu sekitar 1-2 menit untuk jeglek mengubah otakku dari mode Bahasa Indonesia ke Bahasa Jepang (habis saat itu lagi jarang video call dalam Bahasa Jepang dengan rekan kerja). Wawancara pun sebagian besar berjalan lancar, meskipun berakhir dengan agak krik karena profesor dan labnya belum pernah menerima murid asing yang langsung dari luar negeri (adanya orang asing yang S1 nya di Jepang, terlebih di Kobe University). Selain itu, profesornya juga berharap aku mengikuti ujian sertifikasi tentang pengurusan hak paten di Jepang, yang tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Akhir kata, wawancara tersebut harus berakhir dengan kata maaf di email.
_____ “OK, jangan menyerah, kamu udah separuh jalan!” pikirku. Ya, setidaknya ini sudah lebih berprogres karena sudah sampai diajak video call, selangkah lebih dekat dengan sang “sensei” dibanding sebelumnya yang hanya sekadar dibalas emailnya. Aku pun tak menyerah dan tetap mengirim hingga membuahkan hasil yang ke-2, yaitu dengan profesor dari Tohoku University. Yang kali ini cukup mengherankan sekaligus mengharukan karena beliau membalas dalam waktu yang sangat singkat. YA, tidak sampai hitungan minggu, hari, bahkan jam, beliau membalas hanya dalam waktu 10 menit. Sebuah balasan yang WOW karena beliau langsung mengajakku untuk menjadwalkan video call secepatnya. Sebuah hal yang kurasa sangat wow, apalagi orang Jepang sering tergolong sibuk dan tidak sesering orang Indonesia dalam berkutat dengan gawai, kan? (pengalamanku sih gitu).

_____ “Wah ini dia kesempatanku yang selanjutnya, jangan sampai mengecewakan” pikirku. Kenapa demikian? Karena setelah balasan yang pertama tersebut, aku pun langsung membalas bahwa aku siap untuk video call secepatnya, “menyesuaikan saja dengan sensei, besok pun boleh” jawabku. Namun sensei meminta maaf karena mulai besok hingga minggu pertama bulan Mei beliau sedang ada urusan di luar karena tanggal segitu sedang ada libur golden week (libur di akhir April – awal Mei). “Eh iya, aku kan libur juga karena itu wkwk” pikirku. Akhirnya kami sepakat bahwa kami akan mengadakan video call pada tanggal 10 Mei. Percakapan melalui email dalam Bahasa Jepang tersebut pun berakhir. Aku sudah tidak sabar rasanya untuk diwawancarai lagi, dan semoga ini adalah jalanku.
_____ Nah, jadi begitulah kisahku yang penuh lika-liku dalam mencari profesor (atau dengan kata lain sensei) yang tepat. Bagaimana wawancaranya dan bagaimana hasilnya akan aku tulis di postingan selanjutnya, jadi harap membacanya juga ya!
つづく~~>
*Gambar sampul oleh 三船たかし、 Irasutoya
Perjuangan mendapatkan professor dari mas aldi keren mass… 🙂
LikeLike
Terima kasih mas. Kadang emang ada yang ga dibales atau responnya kurang enak itu bikin patah semangat, tapi harus cepetan bangkit dan cari professor yang lain. Pasti dari sekian banyak professor ada yg mau menerima kita
LikeLike