Takuya Kemari 2 – Reuni

_____ Hari ke-2 Takuya di Indonesia dimulai. Karena hari itu adalah hari Minggu, maka ia bersiap-siap dari pagi untuk pergi ke gereja. Sebenarnya sih ia tak harus pergi (katanya), tapi karena ada anak dari kenalan ibunya di gereja yang ada di dekat rumahku, maka ia mau tidak mau mematuhi perintah “emak”nya untuk menyampaikan bingkisan antara emak emak tersebut. Kok bisa kenal? Jadi ternyata ibunya itu adalah anggota jemaat gereja yang sama dengan gereja yang ada di Indonesia, jadi mungkin karena sama-sama pernah menghadiri acara atau kegiatan gereja gitu, mereka jadi saling kenal. Seusai sarapan, aku mengantarkan Takuya menuju gereja yang dimaksud kemudian pulang kembali dan mendownload film yang katanya sih menarik karena kolaborasi antara Jepang dan Indonesia. Karena penasaran, ya sudah aku download saja sambil menunggu Takuya pulang dari gereja.

_____ Siang pun berganti menjadi sore, namun Takuya belum pulang juga. Ternyata, ia diajak oleh anak dari teman ibunya itu untuk pergi ke gerai salah satu provider seluler terkemuka di negeri ini. Ia bilang kalau ia harus membeli SIM card Indonesia untuk digunakan selama di Kalimantan nanti karena tidak yakin apakah SIM card Jepang bisa digunakan disana. Baiklah, kalau begitu aku pun menjemputnya di gerai seluler yang dimaksud. Sama seperti saat Riki membuat SIM Card, ia pun menyerahkan kartu identitas berikut paspornya kepada petugas untuk diperksa dan tada~ SIM card pun selesai dibuat dan siap digunakan. Setelah membuat SIM card, kami berdua berpamitan dengan teman ibunya Takuya dan kembali ke rumah. Saatnya mandi dan bersiap-siap untuk makan malam karena makan malam kali ini super spesial, yaitu rawon buatan ibu :D.

Film “Umi wo Kakeru”, film Jepang yang bercerita tentang orang Jepang di Aceh (source: https://movies.yahoo.co.jp/movie/362841/)

_____ Seusai makan malam, aku dan Takuya berencana menonton film yang sudah kucari-cari sebelumnya (tapi belum kutonton juga), yaitu Umi wo Kakeru (arti harfiah: Menyebrangi laut). Dari sinopsisnya, film ini bercerita tentang seorang Jepang yang terdampar di Aceh yang dibintangi oleh Dean Fujioka, salah satu penyanyi terkenal di Jepang (istrinya juga orang Indonesia lho). Selain Dean Fujioka, film ini juga dibintangi oleh Taiga Nakano, aktor yang mungkin sering tampil di berbagai dorama seperti “Kono Koi Atatamemasuka?” serta aktor tanah air seperti Adipati Dolken. Filmnya mungkin kurang menegangkan kalau dari segi cerita, tapi cukup menarik karena menghadirkan konflik batin dan konflik identitas antara 4 orang dari 2 negara berbeda. Upssss…. dilarang menyebarkan spoiler!

_____ Hari pun berganti, mari kita awali hari selanjutnya dengan sarapan. Karena masih ada rawon sisa semalam, jadi kami berdua sarapan dengan itu. Entah kenapa Takuya ini sedang lapar atau doyan dengan rawon buatan ibu hingga ia menambah hingga 3 piring nasi dan rawon sampai habis. Sebagai catatan, porsi makannya per piring juga jauh lebih besar daripada porsi sepiringku lho. Katanya, “coba kalo bisa pindah lahirnya di Indonesia, bisa makan yang kayak gini dan makanan enak lainnya terus”. Tampaknya ia tidak tahu kalau makanan Indonesia yang ia makan selama ini sudah dikurangi level pedasnya hingga mendekati 0 (haha, lebay), karena aku mendengar cerita kalau ia sempat kepedasan setelah makan Ind*mie goreng yang kemasannya putih. Serius? Iya, mie yang itu lho, yang menurut banyak orang Indonesia nggak ada pedas-pedasnya sama sekali.

Sarapan dengan Rawon yang muantaapss abizzz (source: dad’s gallery)

_____ Seusai makan dan mencuci piring, kami berdua bersiap berangkat menuju pusat ibukota, yap, kemana lagi kalau bukan ke tempat tempat yang tergolong “wajib dikunjungi” di Jakarta bagi orang asing. Kami menggunakan bis Transjakarta untuk pergi ke tiap tempatnya, toh tidak masalah dengan beramai-ramai di bis dan berjalan kaki. Mula-mula, kami pergi ke kota tua terlebih dahulu. Kami tiba disana pada pukul 10 pagi, namun sayang, musium yang ada sedang tutup karena hari itu merupakan hari Senin dan aku lupa kalau hari Senin adalah jadwal musium libur untuk pemeliharaan. Maka dari itu, kami hanya bisa mengunjungi lapangan dan melihat-lihat bangunan tua dari luarnya saja. Kami berada di area Kota Tua hingga pukul 12 siang, waktu ketika zuhur dan jam makan siang tiba. Untuk makan siangnya, kami membeli mie sed**p cup rasa soto untuk dimakan karena kupikir rasa itu akan cocok juga dengan Takuya sebagaimana Riki & Kento. Tapi, ternyata tidak karena Takuya malah mengatakan kalau ia lebih suka makanan yang handmade seperti rawon ibuku tadi pagi. Yaah, mau gimana lagi, namanya juga kepepet.

_____ Perjalanan kami selanjutnya adalah pergi menuju komplek Monas, mulai dari Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, Monas (yang sayangnya hari itu juga ditutup), dan juga perpustakaan nasional (sebagai gantinya monas ditutup). ami pergi kesana dengan bis tingkat gratis yang berlalu lalang dari beberapa zona tempat wisata di Jakarta. Karena bis tidak berhenti langsung di tempat yang kami tuju, kami pun turun dari bis di halte dekat sekolah Santa Ursula. Dari sanalah kami berjalan dengan rute Gereja Katedral -> Masjid Istiqlal -> Perpustakaan Nasional. Banyak berjalan di tengah panasnya Jakarta? Ah sudah biasa bagiku, dan tentu saja orang Jepang kan senang berjalan, jadi hal tersebut bukan masalah karena musim panas di Jepang lebih panas dari Jakarta.

Takuya dan Kota tua (source: personal snapshot)
Gereja Katedral di Jakarta (source: personal snapshot)

_____ Ini adalah kali pertama aku mengunjungi Gereja Katedral karena biasanya hanya bisa melihat dari kejauhan di dalam kedaraan. Rupanya, Gereja ini sudah dibangun dari zaman Belanda, begitupun sekolah Santa Ursula yang terletak di belakangnya hingga menjadikannya salah satu komplek sekolah dan gereja tertua di Jakarta. Takuya pun merasa takjub dengan bangunan gerejanya yang tampak antik dan terawat, apalagi di Jepang, bangunan gereja biasanya bergaya modern dan lebih banyak digunakan untuk tempat resepsi pernikahan saja, bukan kegiatan keagamaan. Setelah berfoto-foto di area Gereja Katedral, kami pun berpamitan dengan bapak penjaga yang telah mengizinkan kami masuk ke dalam. Selanjutnya, kami menyebrang jalan raya dan tadaa~ sampailah kami di Masjid Istiqlal.

Takuya di Istiqlal dengan gamisnya (source: personal snapshot)

_____ Karena saat itu Masjid Istiqlal sedang direnovasi, maka kami masuk dari pintu samping yang ada ruang pengurusnya. Dikarenakan saat memasuki masjid harus mengenakan pakaian yang sopan dan menutup aurat sedangkan saat itu Takuya sedang mengenakan celana yang agak pendek, maka pengurus masjid meminta Takuya untuk mengenakan baju gamis yang disediakan khusus untuk pengunjung. Untuk meminjamnya, kita tinggal bilang saja ke pengurus, lalu pengurus akan mengambilkan beberapa jenis gamis yang bisa kita pilih sendiri model dan ukurannya sembari kita menyimpan barang bawaan pada loker yang ada. Seusai berkeliling di dalam masjid, barulah kita mengembalikan gamis pinjaman ke tempatnya dan bisa mengambil barang bawaan lagi. Setelahnya, kami berpamitan dengan pengurus masjid yang sudah mengantar kami berkeliling masjid dengan ramah.

_____ Keluar dari masjid, hmmm…. enaknya kemana nih? Monas sedang ditutup, begitupun galeri nasional. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajak Takuya ke Perpustakaan Nasional saja yang masuknya pun gratis dan tak pakai ribet. Di bagian depannya, kita juga bisa melihat galeri aksara yang ada di Indonesia. Takuya pun terlihat takjub melihat kekayaan aksara yang ada di Indonesia, mulai dari aksara Jawa, Sunda, Bali, Batak, dll. Sayangnya, meskipun Takuya tampak ingin berlama lama di dalam perpustakaan, jam tidak berkata demikian karena sudah menunjukkan waktu ashar dan setelah ini kami harus bertemu dengan seseorang lagi. Maka dari itu, setelah sholat ashar di dalam perpustakaan, kami kembali menaiki bis Transjakarta dan bergerak menuju daerah Tanjung Duren. Karena sepanjang perjalanan aku dan Takuya mengobrol dalam Bahasa Inggris-Jepang, ada seseorang yang tiba-tiba menyahut dari belakang yang rupanya alumni pemagang bidang perikanan di Jepang dulu. Kami pun jadi ada teman tambahan untuk mengobrol selama perjalanan.

_____ Singkat cerita, selama perjalanan, terjadi kesalahan yang agak fatal, yaitu saat kami transit di halte Grorol, kami terpisah bis sehingga aku naik bis duluan sedangkan Takuya (mungkin) naik bis setelahnya. Parahnya, HP Takuya sedang dalam keadaan mati kehabisan baterai akibat jalan-jalan seharian. Maka dari itu, aku panik sepanjang perjalanan karena kuyakin ia tak tahu harus turun di halte mana, pun ia juga tidak bisa memanfaatkan fitur penerjemah di hapenya karena HP nya telah mati suri. Karena aku ingat kalau sebelumnya kami sedang menaiki bis sambung, maka aku berhenti di sebuah halte diantaranya dan menunggu kedatangan bis selanjutnya. Bis pertama…. coret, bis kedua…. coret, “duh ia naik bis yang mana ya?” gumamku dalam hati. Untungnya di bis ketiga, aku melihat orang dengan gaya rambut mirip Takuya yang masih berdiri di tiang bis dekat pintu. Aku pun coba masuk bis itu dan ternyata benar bahwa itu adalah Takuya. Haduuh… benar benar suatu pengalaman buruk kalau sampai terpisah, apalagi ia tak bisa Bahasa Indonesia.

_____ Setelah sampai di daerah Tanjung Duren, aku menghubungi orang yang akan kami temui. Yap, ia adalah Kak Robby, salah satu peserta AIMS dari Universitas Binus yang pergi ke Tsukuba pada setahun sebelum aku. Karena ia adalah teman seangkatannya Takuya, tentu saja ia juga berniat bertemu dengannya saat makan malam setelah pulang kerja. Ia juga berencana mengajak temannya 1 lagi, yaitu Jan untuk ikut makan malam bersama. Setelah voting mau makan dimana, akhirnya kami memutuskan untuk makan di warung Spesial Sambal yang ada di Tanjung Duren karena kami sudah sama sama tahu makanannya seperti apa, jadi nggak asal coba-coba, apalagi Takuya masih samar-samar banget dengan makanan Indonesia. Setelah menghubungi Kak Robby, aku mengajak Takuya untuk berjalan kaki menuju SS Tanjung Duren dari halte busway Indosiar melewati jalan perkampungan. Yahh, hitung hitung mengajak Takuya melihat realita Indonesia juga lah, nggak cuma yang bagusnya doang yang ditunjukkin.

_____ Sesampainya kami di restoran SS Tanjung duren, aku dan Takuya segera memesan tempat duduk. Memang benar, tempat itu ramaaaaiiiii sekaliiiii sampai pemesanan tempat duduknya pun masuk waiting list saking ramainya. Untung saja tempat duduk kami sudah tersedia tepat ketika Kak Robby datang. Jan pun datang tak lama setelah kak Robby, mungkin sekitar 10-15 menit setelahnya. Kami memesan nasi sebakul dan lauk-lauk yang sekiranya bisa dibagi ber-4. Tak lupa, sambal untuk masing-masing orang dibuat berbeda. Karena Takuya merupakan yang paling tidak tahan pedas, makanya kami pilihkan sambal yang paling aman untuk “pemula”, yaitu sambal kecap. Untunglah sambal dan menu makanannya cocok di lidah Takuya, terbukti ia sampai mengambil banyak lauk dan mencocolnya dengan sambal kecapnya. Malam itu benar-benar asik sekali karena aku bisa mendengar cerita-cerita dari para “sesepuh” AIMS 2017 yang tentu saja berbeda denganku yang masuk saat 2018. Kami pun mengakhiri makan dan mengobrol di SS Tanjung duren pada pukul 20.30.

Reuni AIMS 2017 & 2018 dengan kak Robby dan kak Jan (source: personal gallery, taken by SS Waiter)

_____ Setelah makan, aku dan Kak Robby memesan Go-Car untuk mengantar kami ke penginapan Takuya karena ia telah memesan penginapan di Red Doorz di daerah Rawa Buaya, Jakarta Barat. Kenapa disana? Katanya sih agar mudah pergi ke bandara keesokan harinya setelah wawancara dengan JETRO & JICA di Senayan. Oke, kami pun sampai di penginapan yang Takuya pesan. Penginapannya cukup terjangkau dari segi harga, namun ternyata penginapannya berbentuk hotel kapsul di dalam kamar, jadi dari segi kenyamanan mungkin agak kurang menurutku. Meski demikian, demi mengirit anggaran penelitian, Takuya pun nggak masalah memesan kamar seperti itu walau itu pertama kalinya ia tidur di penginapan semacam itu. Setelah itu, aku dan Kak Robby kembali ke rumah masing-masing dan beristirahat.

_____ Dari cerita Takuya, ia akhirnya bisa pergi kemana-mana sendirian menggunakan bis Transjakarta dan MRT setelah kuberitahu tips & tricknya. Ia pun telah mendapatkan data yang ia butuhkan setelah mewawancarai pihak JETRO dan JICA. Saat sampai di Balikpapan, ia juga mendapat penginapan yang pegawainya lumayan ramah dan setidaknya bisa berbahasa Inggris sedikit-sedikit. Ia juga berencana menyewa motor untuk pergi ke daerah calon ibukota baru di daerah Penajam Paser. Tentu saja, untuk meminjam motor, ia perlu mencari tempat rental yang aman dan terpercaya sehingga akupun membantunya mencari dan menghubungi tempat rental motor yang ada di Balikpapan.

Bagaimana kisah Takuya di Kalimantan, simak ceritanya di postingan selanjutnya!

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: