Tiga Pemuda Keliling Jawa 11 – Pahlawan

_____ Setelah membereskan isi ransel dan menyimpannya di Hotel Kapsul “My Studio” yang terletak tak jauh dari Stasiun Gubeng, kami pun bersiap untuk berkeliling Surabaya meski hari itu sedang cerah dan terik (apalagi Surabaya emang terkenal dengan panas yang “nyerik” di kulit ). Kami memutuskan untuk banyak berjalan kaki untuk mengunjungi berbagai tempat, yakni masjid ala Tiongkok yang terletak dekat dengan taman makam pahlawan, kemudian berlanjut ke House of Sampoerna (musium rokok Sampoerna), kemudian ke pasar atom, dan mengakhiri perjalanan ke Tunjungan Plaza. Tentu saja kita tidak berjalan kaki ke semua tempat tersebut karena selain panas, kaki kami juga bisa gempor akibat jarak masing-masing tempat yang terpaut cukup jauh. Karenanya, kami sangat mengandalkan Go-Car untuk pergi ke tempat yang jauh, apalagi aku masih punya banyak voucher perjalanan.

_____ Mula mula kami berkunjung ke masjid yang bergaya cukup unik karena pastinya beda dari kebanyakan masjid di Indonesia dan Malaysia (tempat Kento & Riki belajar sementara). Arsitektur masjidnya sangat bernuansa Tiongkok sehingga sekilas mungkin tidak akan terlihat seperti masjid dari luar karena bangunannya memiliki atap seperti kelenteng lengkap dengan dekorasi ala Tiongkok lainnya. Namun, begitu kita masuk ke dalamnya, kita akan mendapati suasana yang masjid banget, mulai dari tempat wudhu, rak buku beserta Alquran, sajadah, mimbar, dan tentu saja jamaah yang sedang sholat. Yap, apalagi kalau bukan Masjid Muhammad Cheng Hoo yang terletak di pusat kota Surabaya. Dari penginapan, kami merogoh kocek sebesar Rp 18.000 untuk sampai ke masjid tersebut menggunakan Go-Car.

_____ Sesampainya di lokasi, kami bertemu dengan pengurus masjid untuk meminta izin masuk. Tentu saja pengurus masjid memperbolehkan asal mengenakan pakaian yang sopan. Berhubung Riki saat itu sedang memakai celana pendek, tentu saja ia harus pakai sarung saat masuk. Setelah mengunjungi masjid bergaya Tiongkok tersebut, kami berjalan keluar menuju taman makan pahlawan dan bersiap untuk pergi ke tujuan selanjutnya, yaitu House of Sampoerna, atau bisa dibilang musiumnya rokok Sampoerna. Untuk kesana, kita bisa menaiki bis keliling Surabaya yang disediakan gratis oleh pihak Sampoerna. Berhubung jam sudah mau menunjukkan pukul 3 sore, kami harus bergegas ke sana.

Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya (source: personal snaphsot)

_____ Sesampainya di House of Sampoerna, kami segera masuk ke dalam karena kami tidak punya banyak waktu lagi berhubung musium akan segera ditutup. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku ke House of Sampoerna karena aku sudah pernah mengunjungi 1x sebelumnya bersama teman-teman kuliah dulu. Di musium ini, kita bisa melihat pernak pernik seputar rokok, mulai dari tembakau, kemasan, hingga mesin produksinya. Tak hanya itu, kita juga bisa melihat sejarah berdirinya bisnis Sampoerna ini yang sudah berdiri dari zaman belanda dulu. Desain musium dibuat seklasik mungkin agar bisa mendapatkan feel yang senada dengan perabotan dan pernak-pernik yang menghiasi interiornya. Kento dan Riki tampaknya cukup excited dengan musium rokok itu karena dekorasinya memadukan unsur Jawa, Tionghoa, dan Belanda.

Isi House of Sampoerna (source: Our gallery)

_____ Usai dari musium, waktunya kita makan siang (atau enaknya disebut sore yah soalnya sudah mau jam 3). Di seberang House of Sampoerna, ada warteg yang tampaknya cukup bersih untuk kami makan. Sebenarnya aku sih bisa saja makan di warteg, tapi awalnya aku agak ragu untuk mereka berdua karena dari pengalamanku dengan orang Jepang yang di IPB, mereka pasti sakit perut kalau diajak makan di sembarang warteg selama bulan pertama. Kami memesan yang wajar saja, karena ternyata wartegnya lebih mirip restoran padang dengan model sederhana (yang jualnya uda, bukan mas). Kami semua makan nasi padang dengan lauk rendang (aku hanya nasi dan rendang aja tanpa sayur dan pernak pernik lainnya soalnya tak suka makan yang rasanya pekat dan kental). Sambil makan, aku sambil mengajari mereka untuk makan menggunakan tangan, meskipun pada akhirnya mereka menyerah dan menggunakan sendok karena belum terbiasa. Herannya, mereka makan dengan lahap sekali dan habis lho, ini pada lapar atau doyan yaah hmm~ XD.

Gapura menuju pasar atom dan kawasan pecinan (source: personal snapshot)
Keramaian di jalan kecil antara pasar kawasan pecinan dan kawasan arab (source: Kento’s gallery)

_____ Setelahnya, kami berjalan random menuju komplek pasar atom, mulai dari kawasan pecinan hingga kawasan arab. Aku mengajak mereka ke tempat yang cukup “unik” untuk wisatawan (emang ada yg mau ngunjungin pasar?) agar mereka bisa mengenal Indonesia lebih dekat dengan suasana keseharian yang nyata, bukan cuma lewat jalan-jalan yang bagus aja. Karena kata pacarnya Kento ia rumahnya dekat pasar atom, Kento pun jadi makin semangat jalan jalannya, yang benar benar secara harfiah JALAN. Ya, mengajak orang Jepang untuk jalan kaki sejauh itu bukanlah masalah besar toh mereka juga sudah terbiasa untuk jalan kaki di negaranya, tapi untuk melewati jalan sempit dan beradu dengan emak-emak yang belanja, gerobak, kendaraan bermotor? Hmm.. pasti ini pertama kalinya!

Jalan menuju komplek timur tengah di Surabaya (source: Kento’s gallery)

_____ Akhirnya kami selesai juga berbelanja di pasar. Kami membeli sedikit jajanan di kawasan pecinan dan kopi di kawasan arab. Riki bilang dia lagi demen banget minum kopi belakangan ini dan karena kopi-kopi di Jepang kayaknya dirasa mainstream, maka ia mencoba membeli kopi Indonesia dan kopi rempah khas arab di toko. Setelah dari kawasan pasar tradisional, kami berpindah ke pusat perbelanjaan modern terbesar di Surabaya, dimana lagi kalau bukan Tunjungan Plaza. Ngapain kesana? Jadi, pacarnya Kento nitip kosmetik untuk dibawakan ke sana, dan sepertinya Kento & Riki juga berniat membawa oleh-oleh lain untuk teman-temannya kelak. Oke, sekalian saja kita kesana! Langsung saja, kupesan Go-Car untuk membawa kami ke TP. Meski jalanan cukup macet karena sudah pukul 5 sore, kami bisa sampai di TP sebelum maghrib. Sesampainya di TP, kami membeli makanan yang lebih ringan seperti Burger K*ng yang lagi promo banget sebagai ganjalan perut. Maklum, berjalan sejauh itu memang cukup menguras tenaga, apalagi kita masih akan berjalan-jalan di mall yang super duper besar itu.

Dikira nyasar, gak taunya belanja (source: personal snapshot)

_____ Mula-mula, kami pergi ke toko yang menjual kosmetik terlebih dahulu untuk membeli oleh-oleh untuk pacar Kento. Kemudian, barulah kami mengunjungi Serambi Botani, tempat dimana kami bisa membeli jamu dan set rempah-rempah tradisional khas Indonesia. Riki tentu saja suka dengan jamu jamuan, makanya ia membeli beberapa jamu siap seduh dan bumbu racik untuk dibawa. Untungnya, kartu mahasiswaku masih berlaku sehingga mendapatkan potongan harga khusus mahasiswa IPB. Setelahnya, barulah kami membeli oleh-oleh berupa makanan dan camilan di supermarket lantai dasar. “Eh tapi, Riki kemana?” Tanyaku pada Kento saat kami masih berada di toko obat di depan swalayan. “Wah nggak tau, tadi kukira di belakang ngikutin kita” Jawabnya sambil bingung memilih kosmetik yang mana untuk si doi. Tak lama kemudian, manusia berbaju hitam dengan tas selempang itupun terlihat di supermarket. Haduh, rupanya ia sudah masuk duluan ke dalam untuk mencari makanan.

_____ Setelah puas berbelanja, aku mengajak mereka makan belut goreng yang cukup terkenal di Surabaya. Bicara soal belut, belut (unagi) di Jepang terkenal super duper mahal hingga mencapai ratusan ribu per porsinya (bahkan sushi dengan unagi seporsinya bisa 400 yen sendiri di saat sushi dengan ikan atau bahan lainnya hanya berkisar 100-150 yen). Namun, saat sudah sampai di restoran belut dan disuruh mengantri, ternyata toko sudah mau tutup karena belutnya sudah habis. Kecewa dengan hal tersebut, aku langsung memesan Go-Car untuk kembali ke hotel. Untungnya, mas pengemudinya sangat murah hati karena permintaanku diterima dengan baik, yaitu berhenti di pinggir jalan sebentar jika ada angkringan pecel lele atau ayam bakar. Setelah mas pengemudi berhenti sejenak di pinggir jalan, aku membeli lele goreng beserta tempe dan tahu, lengkap dengan lalap dan sambal untuk makan malam kami semua sebagai pengganti belut (php nih belut).

_____ Sesampainya di hotel, kami turun dari Go-Car dan berterima kasih pada mas pengemudi yang rela menunggu selama membeli nasi di angkringan pinggir jalan. Kami pun bisa langsung makan di meja makan hotel yang tersedia di lantai bawah. Ini adalah kali pertama mereka makan sesuatu dari angkringan pinggir jalan, kuharap mereka tidak kenapa-napa. Sebelum makan, aku mengatakan pada mereka untuk tidak usah pakai banyak banyak sambal, namun ups, belum 5 menit akku berbicara, Riki membuka plastik sambalnya terlalu besar sehingga sambal tumpah ke nasi dalam jumlah yang lumayan. “Tuker aja sama punyaku, daripada kepedesan” kataku sambil menawari punyaku. “Nggak usah, nggak apa apa kok aku udah kuat pedas sekarang”, jawabnya. Ya… kuat pedas sih kuat, tapi hanya beberapa jam saja karena pada tengah malamnya, ia malah mencret hingga sulit tidur. Haduuh, untung Kento tidak kenapa napa karena memakan sambalnya dalam jumlah wajar. Beruntung aku memiliki obat dengan attaplugite untuk meredakan mencretnya.

Langsung turun dan sarapan oi (source: personal snapshot)

_____ Keesokan paginya pada pukul 6 pagi, kami mulai bersiap siap untuk mengemas seluruh barang bawaan kami dan turun ke lantai dasar untuk makan. Di hotel ini, disediakan sarapan berupa roti, mentega, dan aneka selai serta kopi dan teh, lumayan banget untuk mengganjal perut kami di perjalanan nanti. Saat sarapan, kami bertemu dengan mas Anang (nama disamarkan) yang merupakan mantan Kenshūsei atau pekerja magang di Jepang. Kento dan Riki pun sekejap langsung berbicara Bahasa Jepang dengannya sambil bercerita soal perjalanan kami. Seusai makan dan berbicang bincang, kami langsung memesan Go-Car untuk mengantak kami ke Stasiun Pasar Turi, tempat kereta kami selanjutnya akan berangkat. Karena masih ada 1 jam lagi sebelum keberangkatan, kami membeli bento untuk makan siang dulu di In**maret yang ada di depan Stasiun Pasar Turi.

Sarapan dengan alumni Kenshūsei di Jepang (source: Kento’s gallery)
Kereta menuju Jakarta~ (source: Kento’s gallery)

_____ Seusai membeli bento, kami masuk ke dalam stasiun untuk mencetak tiket dan melakukan proses check in. Setelahnya, barulah kami masuk ke dalam kereta eksekutif menuju kota tujuan kami selanjutnya. Karena ini eksekutif, maka kursinya bisa diputar menjadi berhadapan. Aku duduk bersama Kento sedangkan Riki duduk sendiri di kursi yang berhadapan. Untungnya, penumpang yang duduk di sebelah riki belum datang sehingga kami masih bisa mengobrol dengan tenang. Penumpang selanjutnya baru tiba di stasiun selanjutnya, yaitu seorang wanita yang tampaknya adalah wanita karir sehingga tentu saja cukup tenang di kereta (tidak seperti emak-emak saat di kereta menuju Banyuwangi lalu). Selamat tinggal Kota Pahlawan~

Akan kemana kita selanjutnya? Mari simak di postingan selanjutnya!

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: