Tiga Pemuda Keliling Jawa 6 – Kaliurang

_____ Cukup dengan tempat tempat bersejarah, di sore hari ke-5 itu kami pergi ke tempat yang lebih menyatu dengan alam. Kami pergi ke sana dengan mobil Emmanuel setelah Emmanuel kembali dari kampusnya dan menghampiri kami ke penginapan. Emmanuel berencana mengajak kami pergi ke tempat bernama Kaliurang, sebuah tempat yang ada di lembah gunung merapi yang terkenal dengan hutannya yang rimbun, udaranya yang segar, serta pemandangan dan nuansa yang khas dari gunung merapi. Perjalanan kami ke sana bukanlah tanpa hambatan, karena hari itu adalah hari biasa dan kami berangkatnya sekitar pukul 4 sore, maka kami harus bermacet-macetan dengan kendaraan yang berlalu lalang setelah pulang kerja. Saat mulai menjauh dari kota, barulah jalanan mulai terasa lowong dan perjalanan menjadi lancar. Kami pun mulai masuk ke daerah yang lebih desa dan dikelilingi dengan pepohonan yang lebat serta mengikuti jalanan yang mulai menanjak.

_____ Setelah berkendara kurang lebih hingga pukul 17.30, kami sampai ke tempat yang dituju Emmanuel. Sebenarnya Emmanuel berencana mengajak kami lebih ke atas lagi, yaitu ke tempat dimana kami bisa melihat merapi dengan lebih jelas dan pemandangannya pun lebih indah, namun karena hari itu hujan, maka perjalanan kami cukup sampai tengah saja, yaitu di sebuah kedai kopi di pinggir jalan. Kedai kopi tersebut dibangun dengan kayu dan tidak dibuat dengan alakadarnya banget sehingga terkesan rapi dan nyaman untuk pengunjung. Karena Emmanuel sebelumnya pernah ke tempat itu dengan temanya, maka ia pun masih mengingat dimana letaknya dan apa aja menunya. Singkat cerita, kami turun dari mobil dan bergegas menuju kedai karena hujan yang semakin deras. Nah, hujan sore-sore gini enaknya makan dan minum apa yaa~

Hutan di Kaliurang (source: Kento’s gallery)
Papan penanda kafe di Kaliurang yang kami kunjungi (source: Kento’s gallery)

_____ Emmanuel menyarankan kopi tubruk karena itu adalah kopi yang beda dan nggak bisa ditemui di Jepang. Kento pun tertarik dengan gagasannya dan akhirnya memesan kopi tubruk bersama Emmanuel sedangkan Riki malam membeli STMJ. Yak, STMJ (Susu, Telur, Madu, Jahe)… Emangnya dia bisa minum gituan? Awalnya aku dan Emmanuel juga berpikir demikian, tapi ternyata doyan lho, tidak disangka. Aku sendiri memesan yang lebih wajar saja, yaitu wedang uwuh yang pastinya enak banget diminum saat hujan-hujan. Untuk makanannya, kami memesan 2 porsi tempe mendoan untuk rame-rame. Uhh, benar benar suasana yang nyaman banget untuk bersantai setelah 2 hari banyak berjalan dan siang sebelumnya terguyur hujan. Kini, kami berasa sudah berdamai dengan hujan.

Ngobrolin apa sih asih banget, hihihi (source: personal snapshot)

Lahap banget makannya gaes! (source: personal snapshot)

_____ Seusai menyantap makanan, tibalah saatnya untuk sholat maghrib karena sudah pukul 6 sore. Di kedai ini juga terdapat musholla kecil dan kondisinya tidak terlalu ramai karena saat itu kedai hanya terisi separuh meja saja. Airnya terasa sueegeeer banget, apalagi setelah hujan begini, petrikor turut semerbak di area kafe. Seusai sholat, kami hanya berbincang bincang sebentar hingga Emmanuel mengajak kami ke rumahnya. Wah, ada apa nih? Kami pun masuk ke dalam mobil dan menuruni lereng. Suasana jalan saat itu sangat gelap arena jalanan menuju kaki gunung terbilang minim penerangan. Sekitar 40 menit kemudian, sampailah kami di sebuah rumah ala Jawa milik keluarga Emmanuel. Saat turun dari mobil, anjing Siberian Husky Emmanuel menyambut kami masuk ke dalam rumah, disusul dengan kedua orang tua Emmanuel yang menyambut kami dengan ramah.

_____ Jadi, ternyata Ibu Emmanuel telah menyiapkan makan malam untuk kami semua. Sambil menunggu makan malam terhidang seluruhnya, Emmanuel dan ayahnya mengajak kami ke pintu belakang rumah yang terhubung dengan sebuah sungai kecil. Rumahnya cukup unik ternyata karena memiliki halaman dalam rumah dan rumah belakang yang menjadi kamar Emmanuel sendiri. Selain itu, tepat di sebelah rumah terdapat sungai kecil yang pastinya bisa jadi tempat memancing atau sekedar tempat melepas lelah dengan gemericik air sungai. Tak lama kemudian, tada~ makanan telah jadi semua. Ibu Emmanuel kemudian menerangkan kepada kami (khususnya Kento dan Riki) kalau ini adalah masakan yang Indonesia banget, khususnya ala Jawa karena telah terhidang sate ayam, lontong, sambal, ayam bakar kalasan, lalap, rawon, telur asin, hingga pecel. Nah, saatnya makan, itadakimasu!

Makan malam…. lagi nih??? Ayooo! (source: Kento’s gallery)

Terima kasih Emmanuel, Om, dan Tante atas jamuan makan malamnya (source: Kento’s gallery)

_____ Sambil makan, ayah dan ibu Emmanuel sedikit bertanya tanya padaku tentang kehidupan kami di Tsukuba waktu itu, hingga rencana kami ke depannya. Mereka juga bertanya tanya kepada Kento dan Riki seputar gimana Indonesia menurutnya. Untunglah, semuanya tampak ceria, apalagi masakan buatan ibu Emmanuel juga enak dan pas di lidah semua orang. Tak hanya itu, ibu Emmanuel juga meminta kami agar membawa sebagian makanannya untuk dijadikan bekal sarapan pada perjalanan selanjutnya karena keesokan harinya, kami akan berpindah kota. “Serius tante, boleh dibawa nih? Waduh, jadi ngerepotin nihhh” kataku sambil merasa tak enak karena sudah sangat merepotkan. Ibu Emmanuel malah menyarankan kami untuk membawa lebih banyak lagi karena katanya memang sudah membuatkan ini semua untuk kami. Setelah membungkus makanan, kami pun berbincang bincang sebentar di rumah Emmanuel hingga pukul 9 malam. Saat pukul 9 tiba, kami akhirnya pamit dengan orang tua Emmanuel dan kembali ke penginapan dengan diantar oleh Emmanuel. Terima kasih Emmanuel dan keluarga atas jamuan makan malamnya.

_____ Oke, sesampainya di penginapan, kami langsung ke kamar untuk mandi dan beristirahat. Tak lupa, kami mengecas seluruh peralatan elektronik agar keesokan paginya tidak perlu terburu buru mengecas karena kami akan berangkat pagi sekali. Seusai tidur nyenyak, pagi keesokan harinya kami bangun dan membereskan kamar. Tentu saja, kami perlu mengecas HP agar baterainya lebih prima lagi karena aku tak yakin kalau di kereta yang akan kami naiki selanjutnya memiliki tempat untuk mengecas, setidaknya yang kosong dan tidak berebut dengan penumpang lainnya. Setelah bangun, sholat subuh, dan mandi, kami kemudian check out pada pukul setengah 6 pagi. Petugas penginapan pun menyambut kami untuk mengurus proses check out dengan sistem Airy Rooms. Setelah keluar dari penginapan, kami pergi ke Circle K yang ada di dekat Tugu Jogja untuk membeli minuman dan perbekalan selama di kereta. Seusai berbelanja, barulah aku memesan Go-Car untuk mengantar kami sampai ke Stasiun Lempuyangan dimana kereta yang akan membawa kami ke tujuan selanjutnya berangkat.

Kereta menuju Banyuwangi (source: Kento’s gallery)

_____ Sesampainya di stasiun, kami langsung mencetak tiket dan segera masuk ke dalam stasiun. Kereta yang akan kami naiki akan tiba 10 menit lagi sehingga dalam selang tersebut, kami bisa masuk dan bersiap siap di depan peron. Setelah kereta datang, kami langsung segera masuk ke dalam kereta untuk mencari tempat duduk kami. Karena kami bertiga duduk sederet, jadi tidak masalah, namun karena kursinya diatur hadap-hadapan secara fix, jadi sudah pasti depan kami adalah orang lain (semoga saja nggak rusuh orangnya ya~). Mula-mula, kursi di depan kami tidak diisi penumpang, namun setelah tiba di stasiun selanjutnya 3 orang mbak-mbak pun mengisi tempat di depan kami. Wah… kira kira seperti apa jadinya perjalanan kami dengan kereta?

_____ Sejujurnya, kereta yang kami naiki ini adalah kereta ekonomi yang tiket per orangnya dipatok sebesar Rp 96.000 dari Jogja hingga Banyuwangi. Karena kami berencana pergi ke Banyuwangi, maka hanya inilah satu-satunya akses termudah dan termurah untuk sampai kesana. Perjalanan kami berlangsung selama hampir 14 jam, ya… 14 jam duduk doang, dari jam 7 pagi hingga jam setengah 10 malam. Rutenya adalah dari Jogja hingga Surabaya sebagai pemberhentian terlama, dan berlanjut lagi hingga Banyuwangi. Untunglah mbak-mbak di depan kami tidak terlalu ribut selama perjalanan, paling hanya agak rusuh saat akan makan maupun mengecas HP karena keterbatasan lubang stop kontak. Mbak-mbaknya pun sempat bertanya padaku kenapa teman-temanku diam saja dan kujawab saja dengan enteng, “mereka orang asing mbak, ngga ngerti Bahasa Indonesia”. Dan demikianlah perjalananku menuju Banyuwangi, mari baca lanjutannya di postingan selanjutnya!

Pemandangan persawahan dari jendela kereta menuju Jawa Timur (source: Kento’s gallery)

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: