_____ Akhirnya sampai juga di hari ke-5. Rencananya, kami akan pergi ke Candi Prambanan, salah satu candi yang terkenal di daerah Jogja (meskipun udah rada ke pinggiran dan jauh dari kotanya sih). Sebelumnya, aku sudah sedikit menceritakan sejarah candi ini kepada Kento dan Riki, gimana ceritanya Roro Jonggrang hingga dibangunnya seribu candi dalam semalam sebagai sebuah cikal bakal yang mendasari mindset mahasiswa Indonesia (baca: kerjaan dikebut semalam). Pagi itu, kami sarapan di kedai burjo yang terletak tak jauh dari hotel, hanya berjalan kaki kurang dari 5 menit menuju arah Tugu Jogja. Kami memesan bubur kacang ijo, teh hangat, dan indomie telor kornet (porsi besar untuk dibagi ber-3). Setelah sarapan, kami kembali ke penginapan untuk mandi dan bersiap siap berangkat ke Candi Prambanan menggunakan Go-Car. Harga sekali jalan dari penginapan menuju candi adalah sekitar 100.000 rupiah yang tentu saja kami bagi tiga, jadi tidak masalah untuk jarak segitu jauhnya. Perjalanan memakan waktu sekitar hampir 1 jam dengan lalu lintas yang relatif lancar. Mas-mas pengemudinya pun tidak sadar kalau aku sedang membawa 2 orang asing, hingga sampai suatu ketika aku berbicara dengan mereka dalam bahasa asing, hehehe.
_____ Nah, sampai juga kita di Candi Prambanan. Untuk masuknya rupanya memerlukan tarif yang sama dengan Borobudur, yaitu Rp 40.000 untuk wisatawan lokal dan Rp 200.000 untuk wisatawan mancanegara. Maka dari itu, aku menyuruh mereka untuk diam dan mengikuti arahanku dalam Bahasa Indonesia jika diperlukan dengan harapan bisa dianggap wisatawan lokal seperti halnya di musium, Benteng Vredeburg, dan keraton. Namun ternyata tetap saja, petugas loket lagi-lagi mampu membedakan wajah-wajah lokal dengan yang bukan sehingga mereka tetap dikenakan tarif wisatawan asing sedangkan aku kena tarif lokal. Aku kemudian mengatakan pada mereka kalau seandainya tidak ada uang untuk membayar tiketnya, aku bisa talangin terlebih dahulu dan bayar kemudian di Jakarta. Namun kata mereka aku tidak perlu sampai demikian karena mereka masih punya kartu kredit untuk membayar tiket masuknya karena kartu kreditnya berlogo Mastercard. Sebenarnya aku agak tidak tega melihat mereka perlu membayar sedemikian mahal hanya karena mereka orang asing (tak semua orang bule itu berduit loh!), maka dari itu setelah ini aku memutuskan untuk membantu menalangi mereka jika ada pembayaran sesuatu, setidaknya yang kecil kecil. Aku juga bisa berdalih ini gratis, diskon, dan semacamnya agar mereka tidak kecewa.
Semoga suatu saat nanti, tarif untuk pengunjung asing bisa lebih manusiawi, atau disetarakan dengan pengunjung lokal. Kasihan kalau mereka harus membayar berkali-kali lipat, apalagi yang statusnya masih pelajar dan mahasiswa.
_____ Setelah masuk, kita bisa menemukan tulisan bertanda PRAMBANAN yang ada di depan candi. Sebenarnya ini hal yang bisa jadi bagus atau buruk karena bisa jadi spot foto penanda bahwa kita sedang ada di Prambanan, atau setidaknya pernah ke Prambanan. Di sisi lain, karena ini adalah cagar budaya, aku merasa kalau tulisan PRAMBANAN ini agak sedikit terkesan “nggak match” dengan tema Prambanan yang tradisional dan kental akan budaya. Alangkah baiknya kalau tulisan ini dihilangkan dan dibuat kode AR saja jadi ketika di foto baru tampak tulisannya, atau dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih “nyeni” dan nyambung dengan candinya sendiri. Terlepas dari itu, setidaknya kami berfoto sekali di tulisan ini untuk kenang-kenangan. Karena ada kelompok wisatawan juga yang ingin difotokan bersama tulisan tersebut, jadi kenapa nggak barter aja kita mbak, ganti-gantian fotoin gitu…? Hehehe.
_____ Sebelumnya, ada anak Tsukuba yang pernah ke Prambanan terlebih dahulu, tapi karena waktu itu aku belum kenal dengannya dan tidak pernah bertemu dengannya secara langsung, jadi bisa dibilang kami tidak saling kenal namun hanya saling tahu saja. Makanya, kali ini aku mengajak mereka untuk melihat langsung ke Prambanan biar ngga penasaran. Meskipun beberapa candi sudah runtuh, dan tak diketahui apakah akan direkonstruksi atau tidak di kemudian hari, mereka tetap menunjukkan kekagumannya pada candi-candi ini. Bagaimana tidak, bagi orang Jepang yang menggilai detail, ukir-ukiran di candi-candi batu ini terbilang cukup detail untuk sesuatu yang dibuat ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Nah karena hari semakin siang dan terik, maka kami segera mencoba masuk ke salah satu candi yang ada yang kebetulan sedang tidak terlalu ramai. Beberapa candi memiliki pintu masuk yang cukup besar untuk dimasuki orang dewasa sehingga kita pun bisa masuk ke dalamnya.
_____ Kami pun berlanjut ke candi yang paling besar yang ada di tengah, yaitu Candi Siwa. Saat akan masuk ke candi ini, terdengar suara gluduk gluduk, tanda akan turun hujan. Karena langit masih cerah, jadi kami masuk saja ke dalam Candi Siwa tersebut. Di dalamnya terdapat berbagai arca dan patung yang menjadi simbol kerajaan Hindu di masa itu. Saat masuk ke dalam, mungkin awalnya akan terkesan angker karena sangat gelap dan berisi banyak ukiran serta patung, tapi sebenarnya biasa saja kok. Tak hanya kami saja, di sisi Candi Siwa yang lain juga banyak turis asing yang kedengarannya turis asal Belanda (dari cara ngomongnya sih gitu). Biar keliatan PeDe, aku berbicara saja dengan Kento dan Riki dalam Bahasa Jepang biar dikira sesama turis asing hehehe.
_____ Nah, lanjut ke candi terakhir yaitu Candi Wisnu. Sekeluarnya kami dari Candi Siwa, langit tiba tiba sudah tertutupi awan. “Whatttt….. Hanya kurang dari 10 menit sudah semendung ini” pikirku. “Gaes, pada bawa payung kan?” tanyaku pada mereka. Kento menjawab, “aku sih selalu bawa di tas selempang, nih kucantelin”. Meski demikian, Riki ternyata tidak bawa payung sehingga aku harus siap berpayungan berdua dengannya kalau hujan melanda. Dan ya, saat keluar dari Candi Wisnu, gerimis pun turun rintik-rintik. Namun karena masih rintik-rintik, kami bisa bertedur di bawah naungan atap gerbang candi yang lebar itu. Meski gerimis, ternyata masih ada seberkas sinar mentari yang mampu menembus sehingga menghasilkan jepretan foto yang bagus seperti di bawah.
_____ Tak lama kemudian, gerimis pun berhenti. Rupanya, hanya gerimis manis saja yang turun sehingga kami bisa pulang tanpa khawatir kebasahan. Setelah dari Candi Wisnu, kami menyusuri jalan keluar yang ada di komplek candi hingga menuju parkiran. Tak disangka, ada suara yang memanggil kami dari belakang, yang tak lain tak bukan adalah guru Bahasa Inggris dari sebuah SMA di Jawa Barat yang kami temui saat di Candi Borobudur lalu. “Wah ibu, kebetulan banget ketemu disini. Kita baru aja dari dalam bu” kataku. Sang bu guru tampaknya tak menghiraukanku dan malah bertanya tanya ke Riki dan Kento. Rupanya rombongan SMA tersebut baru saja tiba di Candi Prambanan dan akan berkeliling di dalamnya. “Wah, hati hati bu, kayaknya mau hujan deras ini lho” kataku sambil mengucap pamit dengan bu guru. Rupanya pepatah “ucapan adalah doa” itu bisa jadi benar adanya karena setelah kami keluar dari gerbang candi dan menyebrang jalan raya, hujan deras pun turun. Zaa~ Zaa~ (onomatope hujan dalam Bahasa Jepang), hujan deras yang mengguyur kami siang itu seakan memadamkan keterikan yang ada hingga tengah hari tadi.
_____ Setelah sampai di seberang jalan, kami berteduh sebentar di sebuah warung kecil dan membuka payung. Rencananya karena kami sedang mengirit pengeluaran, aku mengajak mereka naik bis kota saja agar lebih murah. Ya, serupa dengan Jakarta, Jogja juga memiliki bis layaknya Transjakarta yaitu Transjogja dengan salah satu haltenya yaitu berada di terminal di depan Candi Prambanan. Dari pintu keluar, kami berjalan menembus hujan sekitar 15 menit menuju terminal. Saat sampai, kami kemudian mengeluaran uang sebesar 3000 rupiah untuk tarif perjalanannya hingga sampai di halte yang paling dekat dengan Tugu Jogja. Meski tidak sebagus dan sebersih bis TransJakarta, bis ini tetap masih lebih baik dibandingkan bis umum biasa karena operasinya diatur oleh pemda dan tentu saja masih terawat baik interior maupun eksteriornya. Kami bahkan sempat melihat bandara Jogja juga dari dalam bis ini karena bis ini melewati halte bandara.
_____ Sesampainya di halte Tugu Jogja, kami berjalan menyebrangi lampu merah perempatan untuk pergi ke Circle K dan membeli makanan. Setelah membeli beberapa cup mie instan, kami menyebrangi jalan kembali dan berjalan menuju penginapan. Rasanya sudah basah kuyup sekali sehingga ini saatnya untuk kami membersihkan diri. Aku izin memakai kamar mandi terlebih dahulu untuk berwudhu sedangkan mereka memakai kamar mandi setelahnya. Tututun~ Notifikasi LINE pun berbunyi. Setelah aku sholat, aku membaca pesan LINE tersebut dan ternyata pesan tersebut berasal dari Emmanuel. Emmanuel mengatakan bahwa ia bisa mengajak kami pergi ke suatu tempat yang gak kalah bagusnya sore ini sekitar pukul 4 sore. Karena sekarang masih pukul 2 kurang, maka kami punya waktu 2 jam untuk lungguh sebentar sambil menunggu waktu ashar dan Emmanuel tiba.
_____ Setelah 2 jam berlalu dan kami sudah bersih-bersih, makan siang, dan beristirahat sejenak, kami turun ke lantai dasar hotel untuk bertemu Emmanuel. Rupanya, Emmanuel punya rencana bagus ke suatu tempat di Jogja, bukan situs bersejarah melainkan tempat yang lebih menyatu dengan alam. Kami pun masuk ke mobil Emmanuel dan perjalanan kami bergeser ke arah utara, melewati kemacetan Jogja, perkampungan, hingga menuju ke arah yang lebih desa. Kata Emmanuel, disana adalah tempat yang bagus buat bersantai serta beristirahat, hingga tak jarang orang-orang dari Jabodetabek datang untuk outbound dan camping disana. Wah, kita mau menuju kemana sih? Simak ceritanya di postingan setelah ini!
つづく~~>
Leave a Reply