Tiga Pemuda Keliling Jawa 4 – Borobudur

_____ Pagi itu, kami berangkat dari penginapan menuju salah satu tempat bersejarah yang melegenda, apalagi kalau bukan Candi Borobudur. Karena Candi Borobudur terletak jauh dari Kota Jogja, kami harus kesana menggunakan kendaraan pribadi. Beruntung, ada temanku, Emmanuel, yang bersedia mengantar kami kesana dengan mobilnya. Perjalanan kami pagi itu terbilang lancar karena tidak menemui banyak kendala lalu lintas, paling hanya macet-macet manja sebentar saja saat melewati jalanan pertokoan yang padat, selebihnya lancar jaya. Selama perjalanan, kami malah banyak mengobrol soal UGM, karena ada 2 mahasiswa UGM di dalam mobil, yaitu Emmanuel dan temannya, Iki. Kento bahkan bercerita kalau ia dulunya bingung karena mendapat pilihan untuk pertukaran pelajar antara UGM atau UTM di Sabah, Malaysia. Tapi karena sudah terlanjur memilih, jadi yasudahlah. Kami akhirnya tiba di parkiran Candi Borobudur beberapa menit sebelum pukul 8 pagi.

_____ Kata Emmanuel, Candi Borobudur kalau pagi pas matahari terbit bagus, tapi tiket masuknya juga harganya “bagus”. Makanya, aku memilih untuk ke Borobudurnya saat masih pagi, tapi nggak pas sunrise juga biar harga tiketnya tidak ikutan “bagus”. Singkat cerita, Emmanuel dan Iki menunggu di warung di tempat parkir saja sambil merokok dan sarapan, sedangkan aku, Kento, dan Riki masuk ke dalam. Ketika kami bertiga sampai di loket, kami ikut mengantri bersama dengan rombongan yang ada di depan. Alangkah kagetnya aku ketika giliranku tiba di depan mbak penjual tiket, aku malah diberitahu,”Mas, itu temannya 2 orang asing kan ya, masuknya lewat pintu yang situ tuh. Yang ada bacaannya orang asing”. Aku pun menjawab, “Lah kok dipisah mbak, kan mereka mahasiswa juga sama kayak saya. Mereka bukan turis turis mencurigakan kok!”. Setelah banyak tanya jawab, akhirnya Kento dan Riki masuk lewat pintu khusus turis mancanegara. Aku pun akhirnya membayar tiket ke mbak penjaga loket sebesar Rp 40.000.

_____ Seusai mendapat tiket, aku masuk ke dalam bangunan pintu masuk khusus turis mancanegara. Aku kaget bahwa mereka harus membayar sebesar Rp 200.000 untuk sekedar masuk saja, 5x lipat lebih banyak dari yang aku bayarkan. Karena penasaran, aku bertanya pada mbak penjaga loket khusus mancanegara ,”loh mbak, kok larang tenan ki? Arek mahasiswa lho!”. Sang penjaga gerbang pun hanya bisa berkata bahwa ini sudah ketetapan, aturan, dan sebagainya sehingga memang sudah dipatok FIX segitu harganya. Kento dan Riki tampaknya agak sebel gitu, tampak dari raut wajahnya yang berusaha disembunyikan, karena harus membayar segitu. Mereka membayarnya dengan kartu kredit dari sebuah bank Jepang dan kemudian menerima karcis masuknya beserta sebotol air mineral. Akhirnya kami semua masuk ke dalam wilayah Candi Borobudur dengan karcis yang kami miliki, meskipun sedikit jengkel dengan biaya untuk orang asing yang kelewat mahal. Oh iya, psst… mereka belum tahu loh kalau aku hanya membayar 1/5 dari biaya mereka.

Jalan menuju Borobudur yang mulai ramai oleh pengunjung (source: Kento’s gallery)
Foto wajah yang masih segar saat baru sampai (source: Kento’s gallery)

_____ Saat masuk ke pelataran Candi Borobudur, kami harus berjalan menyusuri jalanan yang rimbun untuk mencapai candi. Tak disangka, ternyata sudah banyak sekali pengunjungnya baik turis lokal maupun turis mancanegara. Terdapat juga petugas yang membagikan sehelai kain untu menutup tubuh bagi pengunjung yang berpakaian agak terbuka (karena ini tempat sakral, jadi harus perhatikan etika berpakaian). Aku mulai mengingatkan mereka kembali ,”Cuy, hati hati barang bawaan kalian ya, ini tempatnya rame banget.” Mereka pun menjawab, “tenang, ini tasnya udah digembok kok”. Tak perlu waktu lama berjalan, kami akhirnya tiba di kaki candi, alias wilayah Kamadathu, atau wilayah keduniawian. Sejujurnya, walau di jalanan hijau tersebut tampaknya ramai, tapi saat sampai di wilayah Kamadathu kerumunan turis tersebut terasa berkurang signifikan. Nah, mari foto dari bagian bawah candi mumpung langitnya sedang bagus, cerah sekaligus berawan.

Wilayah paling bawah, Kamadathu (source: Our gallery)

Moto apa nih? (source: Riki’s gallery)

_____ Karena kondisi di kaki candi cenderung sepi, kami jadi bisa memotret dengan leluasa. Tak hanya itu, kami juga serasa bercengkrama dengan alam karena udaranya benar benar sejuk, apalagi setelah kami tahu saat memanjat bebatuan yang ada di kaki candi bahwa ternyata di sekeliling candi terdapat hutan lebat yang tentunya membuat udara semakin segar. Setelah memotret candi dari bawah, beberapa turis asing datang ke tempat kami. Tampaknya mereka juga ingin memotret candi secara menyeluruh dari bawah. Kmi pun turun dari batu dan mulai naik ke atas candi dari tangga samping. Untungnya, tangga samping cukup sepi, tidak seperti tangga utama yang ramenya minta ampun. Makanya, kami juga bisa mengambl gambar di tangga tanpa gangguan dari orang-orang.

Waktunya naik tingkat (source: personal gallery)
Sampai di level tengah, Rupadhatu (source: Kento’s gallery)

_____ Sesampainya kami di kawasan tengah atau Rupadhatu, kami bisa mengelilingi candi sambil melihat ukir-ukiran yang ada di sekujur dinding candi. Tampaknya banyak sekali relief bertemakan kehidupan masyarakat pada zaman itu, seperti berdagang, berternak, bercocok tanam, dan menghadap raja. Kento dan Riki tampak kagum dengan semua detail relief yang ada, terlebih semuanya diukir di atas batu dengan teknologi seadanya pada zaman itu. Di Jepang memang ada ukir ukiran dari batu yang sudah berusia tua sekali, tapi hanya terbatas pada perabotan rumah tangga atau barang barang berukuran kecil saja, sedangkan untuk bangunan sebesar dan semegah Candi Borobudur tidak ada. Mereka juga tampak asyik berfoto bersama ukir-ukiran yang ada di dinding candi serta mengelilinginya seperti labirin. Saat mereka menemukan spot foto yang bagus, yaitu di sebelah patung tanpa kepala yang menghadap ke pelataran berkabut, mereka memintaku untuk memotretnya. Bagus banget sih emang kalo lagi pose bertapa, serasa model iklan Wonderful Indonesia.

A-MAZE-ing ruins of Borobudur Temple (source: Our gallery)

Silence stance with beheaded statue (source: Personal snapshot)

_____ Akhirnya sampai juga di wilayah tertinggi candi, yaitu Arupadhatu. Saat tiba di puncak, ternyata ramai banget lho dengan pengunjung, baik itu yang sendiri, kelompok kecil, hingga rombongan besar. Seperti yang satu ini, ada rombongan siswa-siswi SMA beserta gurunya dari sebuah SMA di Jawa Barat yang sedang study tour ke Jogja dan sekitarnya. Melihat kami, sang bu guru pun menghampiri kami, tepatnya aku karena aku terus berbicara dengan Riki dan Kento dalam Bahasa Inggris dan Jepang. Karena dikira orang asing (well, 2 diantaranya sih iya), sang ibu guru yang katanya guru Bahasa Inggris menanyaiku untuk meminta izin berbicara dengan Kento dan Riki dalam Bahasa Inggris. Yah, aku sih boleh aja bu, tapi masalahnya mereka ber-2 mau nggak? Nah, singkat cerita, ajaibnya mereka ber-2 mau lho, asal tidak terlalu lama karena kami bertiga belum berfoto foto di puncak.

_____ Awalnya kukira hanya sang bu guru aja yang ingin berbicara, tapi ternyata bu guru malah mengajak siswa-siswinya untuk berbicara dalam Bahasa Inggris dengan Kento dan Riki (lebih tepatnya sih si siswinya aja yang kayaknya demen banget dengan wajah oppa-oppa korea). Aku pun menjadi moderator mereka semua dengan memberi syarat: boleh bertanya tanya asal bukan hal yang sifatnya terlalu privasi dan tidak terlalu lama. Mereka pun awalnya menyanggupi, namun hanya sedikit dari mereka yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berbicara Bahasa Inggris dengan orang asing, sisanya yaaah~ bisa lihat sendiri, justru asik berfoto. Bu guru malah bertanya tanya padaku kenapa bisa membawa orang asing dan kujawab dengan simpel saja untuk menghindari pertanyaan trivial, “Ya aku kan teman mereka di kampus Tsukuba bu, ya mosok ra kenal”. Setelah berfoto dan diwawancarai, aku izin pamit dengan bu guru atas waktunya karena aku nggak enak dengan Riki dan Kento yang malah jadi sarana berfoto serta Emmanuel dan Iki yang menunggu di parkiran kalau terlalu lama. Setelahnya, kami berfoto dan menuruni candi borobudur menuju jalan keluar yang ada taman gajahnya.

Maaf adik-adik, bukannya aku gamau lama-lama, tapi ada yang lagi menunggu di parkiran. Kasihan kalau terlalu lama dibiarkan menunggu. Riki dan Kento juga kasihan kalau terlalu lama dibuka privasinya.

Sampai di wilayah teratas, Arupadhatu (source: Kento’s gallery)

Riki berasa artis sampai diwawancarai cewek-cewek SMA (source: Kento’s & my gallery)

Mari melihat pemandangan dari bagian Arupadhatu (source: personal gallery)

_____ Setelah turun dari Borobudur, kami berjalan menuju pintu keluar hingga perhatian kami tergeser ke sebuah bangunan yang tampak baru. Ya, ternyata itu adalah bangunan musium yang menyimpan koleksi artefak sejarah Nusantara. Disini kami bisa melihat bagaiaman sejarah pelayaran manusia pada zaman prasejarah, hingga zaman kerajaan hindu buddha. Untuk masuk ke musium ini kita tidak dikenakan biaya sepeserpun, baik lokal maupun mancanegara. Sekilas, karena bangunan tersebut tampak seperti bangunan yang baru jadi, jadi saat itu aku masih menemukan beberapa bercak-bercak sisa pengecatan di lantai, dinding, maupun tangga, tapi mungkin sekarang sudah dirapikan dan dibersihkan ya. Untuk mengelilingi musium ini kira kira memakan waktu sekitar 15-20 menit saja, cukup singkat untuk mengelilingi musium yang berukuran tidak terlalu besar.

_____Setelah dari musium, kami melewati pertokoan yang menjual oleh-oleh. Sebagai kelompok dengan orang asing di dalamnya, tentu saja kami sangat mencolok di mata para pedagang sehingga banyak sekali yang menawari kami barang jualannya. Riki akhirnya tertarik untuk membeli sebungkus gantungan kunci Candi Borobudur, namun karena harganya agak tidak manusiawi menurutku, akhirnya aku yang mengajukan diri untuk menawar harganya agar setara dnegan turis lokal. Maklum, melihat orang asing, tentu saja menjadi cash cow bagi banyak pedagang, namun karena orang asing yang kubawa adalah mahasiswa yang notabene duitnya juga pas pasan, tentu saja harganya harus yang wajar lah. Setelah dari tempat penjualan oleh-oleh, kami pergi ke parkiran mobil untuk bertemu Emmanuel dan Iki. Berhubung ternyata Emmanuel dan Iki belum sarapan, langsung saja, kami tancap gas dan kembali ke Jogja untuk sarapan di restoran yang kata Emmanuel cukup ternama, yaitu Raminten.

_____ Karena restorannya cukup terkenal, tentu saja akan sulit mencari tempat untuk parkir dikarenakan bahu jalan cukup banyak terbakai untuk tempat parkir karena restorannya sendiri tidak memiliki tempat parkir. Ini adalah kali pertama bagiku untuk makan di restoran tersebut meski aku sudah beberapa kali ke Jogja sebelumnya. Hal ini tentu akan menjadi pengalaman yang bagus untuk Kento dan Riki agar bisa mencicipi masakan khas tanah Jawa, khususnya Jogja yang otentik. Kami ber-5 kemudian masuk ke dalam restoran dan cukup kaget karena di lantai dasar restoran ada seekor kuda, WAW!. Pelayan restoran dengan baju tradisional khas Jawa menyambut kami dan menanyakan kami apakah sudah reservasi tempat terlebih dahulu sebelumnya. Karena belum, kami diminta untuk menunggu sekitar hampir 5 menit karena meja-meja di lantai 2 restoran sedang dibersihkan. Tak lama kemudian, kami dipersilahkan untuk naik ke lantai 2 dan diantar ke meja kami serta diberikan buku menu.

_____ Karena menunya cukup bervariasi, tentu kami bingung mau pilih yang mana, apalagi Kento dan Riki yang sama sekali nggak bisa Bahasa Indonesia. Beruntung, Emmanuel bisa menjelaskan maksud dari makanan makanan yang ada (soalnya ada beberapa makanan yang aku gak tau dan belum pernah makan juga, jadi takut salah jelasin). Untuk harganya sendiri sebenarnya cukup terjangkau loh untuk restoran yang cukup terkenal ini karena 1 orang hanya merogoh kocek kurang dari 50 ribu rupiah untuk 1 menu utama, 1 menu pendamping, dan 1 minuman. Berikut adalah menu yang kami pesan:

Aku = Sego kucing “rada akeh” pakte dan roti bakar keju untuk makanannya, serta Pajimatan sebagai minumannya
Kento = Soto sapi dan sate lilit untuk makanannya, serta Susu susuan sebagai minumannya
Riki = Ayam bakar blondo dan pisang bakar untuk makanannya, serta Perawan tancep sebagai minumannya
Emmanuel = Sego bakar ayam dan Tempe mendoan untuk makanannya, serta kopi purwaceng sebagai minumannya
Iki = Sego goreng dan plecing kangkung sebagai makanannya, serta bandrexs susu sebagai minumannya

Wadah minuman “Susu susuan” di restoran Raminten (source: Kento’s gallery)

_____ Seusai makan, kami mengobrol ngobrol sebentar di dalam restoran sebelum membayar dan kembali ke penginapan. Kami kembali ke penginapan sekitar pukul 11 karena Emmanuel harus ke kampus pada siang harinya. Oleh karena itu, setelah zuhur nanti, aku berencana mengajak mereka ke Keraton Jogja, Malioboro, dan Museum Vredeburg. Tentu saja, setelah lelah berjalan tadi pagi, kami mandi dulu di kamar dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan petualangan. Setelah sholat zuhur, kami mulai kembali perjalanan kami menuju Keraton Jogja dengan menggunakan Go-Car berhubung harganya sedang miring di siang yang terik itu. Selama perjalanan, aku sedikit bertanya tanya dengan pak supir terkait dengan apa aja yang menarik di dalam dan sekitar keraton dan beliau menjawab “paling musium-musium di dekat monumen serangan umum itu mas kalo mau”. Okay, noted, setelah dari Keraton berarti kami akan berjalan menuju musium, kemudian Benteng Vredeburg, Malioboro, dan berjalan kaki menuju penginapan. Jauh? Nggak ah, kan orang Jepang demen jalan kaki, hehehe.

_____ Saat masuk ke dalam keraton, kami diharuskan membayar masing masing sebesar 8000 Rupiah. Oh, kali ini mereka berdua dianggap sebagai turis lokal, mungkin karena kulitnya sudah mulai mencoklat layaknya orang Indonesia karena berjalan lama di bawah sinar mentari (apalagi Riki sih yang emang dari awal sudah agak coklat). Di dalam keraton, kami bisa melihat sejarah sultan-sultan Jogja dari zaman dahulu kala, mulai dari zaman kerajaan Islam terbentuk, masa penjajahan oleh bangsa barat, hingga pasca kemerdekaan. Bentuk bangunan masih bernuansa klasik meski sudah direnovasi dan dicat di beberapa bagian. Beberapa artefak seperti keris dan ornamen khas Jogja turut memberikan nuansa yang “Jogja banget” di dalam keraton. Kami berkeliling di dalam keraton hingga sekitar pukul setengah 2 siang, sampai akhirnya kami keluar dari keraton menuju lapangan luas di depannya dan berjalan menuju musium.

Sebuah pohon besar di dekat Keraton Yogyakarta (source: Kento’s gallery)
Keraton Jogja tampak luar (source: Kento’s gallery)

_____ Sebelum masuk ke musium, kami pergi dahulu ke bank yang ada di sebelahnya untuk menukar uang pecahan yen Kento menjadi rupiah. Setelah menukar uang, barulah kami masuk ke dalam musium. Untungnya, untuk masuk ke dalam musium, kami tidak dikenakan biaya sepeserpun, hanya perlu mengisi semacam buku tamu gitu. Mungkin karena musiumnya juga baru direnovasi (tampak dari banyaknya bekas pengecatan yang masih baru) jadi memang sedang soft re-opening mungkin ya. Di dalam musium ini, kami bisa melihat benda-benda bersejarah khas yogyakarta yang lebih kuno daripada yang ada di dalam keraton, mulai dari artefak dan pahatan kayu hingga batu, serta beberapa benda kesenian. Musiumnya sendiri tidak terlalu luas untuk ruang pajangnya, tapi saat keluar dari ruang pajangnya, ternyata masih ada halaman tengah dan beberapa ruangan kosong (yang mungkin nantinya akan digunakan sebagai ruang pajang setelah renovasi selanjutnya). Setelah keluar dari musium, kami pergi menuju perempatan monumen serangan umum 1 maret 1949 yang di belakangnya terdapat benteng Vredeburg dan tentu saja, jalan Malioboro.

Sebuah artefak di musium (source: Riki’s gallery)

_____ Musium benteng Vredeburg merupakan musium yang dibangun di sebuah bangunan bekas benteng peninggalan Belanda, jadi jelas saja jika arsitektur nya sangat “Belanda banget“. Hal ini tampak saat kita memasuki bangunan musiumnya yang disambut dengan jembatan diatas parit besar dan pagar benteng (yang kini menjadi loket). Untuk masuk, kami semua dikenakan biaya sebesar 8000 rupiah, sebuah harga yang sangat wajar dan masuk dompet mahasiswa (mungkin Kento dan Riki kali ini dianggap mahasiswa lokal lagi, hehe). Di dalamnya, kami bisa miniatur peristiwa pasca kemerdekaan, serangan umum 1 Maret 1949, dan beberapa tahun setelahnya. Tak hanya miniatur dalam ruang kaca saja, di dalamnya juga terdapat manekin dengan seragam tentara dan penduduk pada zaman itu serta beberapa barang-barang yang lazim digunakan warga serta tentara pada zaman itu. Kento dan Riki tampaknya kagum dengan peristiwa-peristiwa bersejarah ini yang masih terus berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengingat negara mereka pada saat itu masih dalam kondisi porak-poranda sehabis kalah PD2. Seusai melihat lihat isi musium, kami pergi keluar menuju area bermain dan gudang tua dalam musium untuk berfoto foto disana.

_____ Cukup dengan musium, mari kita memanjakan diri dengan belanja di Malioboro. Karena sudah waktunya ashar, maka aku sholat dulu di masjid yang ada di Malioboro sementara mereka jajan es kelapa muda di pedagang kaki lima di depan masjid (bagi dungss). Jalan-jalan di daerah pasar yang ternama sejak dulu memang memberikan suasana tersendiri bagi mereka, terlebih Malioboro bukan hanya menyajikan pusat perbelanjaan dan jajanan saja, melainkan lengkap dengan atraksi gamelan, kesenian, serta andong yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Kami terus saja berjalan hingga menemukan toko oleh-oleh untuk membeli camilan khas Jogja, apalagi kalau bukan bakpia pathok. Kento bilang ia ingin membelinya untuk dimakan selama perjalanan dan 1 kotak untuk orang tuaku di rumah. Tak lupa, kami juga membeli beberapa camilan untuk dimakan di hotel saat malam tiba, yaitu Mie cup (terutama Mie Sedaap cup rasa soto ayam favorit Riki) dan cokelat. Tadinya Kento dan Riki ingin mencari baju batik di Malioboro, namun karena bingung mau beli yang mana, jadi mereka pikir nanti saja belinya saat sudah kembali ke Jakarta agar bisa memilih dengan leluasa.

Monumen “Serangan Umum 1 Maret 1949” (source: Kento’s gallery)
Jalanan ke arah penginapan yang dekat sekali dengan pasar (source: Kento’s gallery)

_____ Dari Malioboro menuju penginapan hanya cukup berjalan kaki kurang dari setengah jam saja, melewati stasiun Tugu dan Tugu Jogja. Mungkin jika dihitung berdasarkan kilometer, kami sudah berjalan kaki jauh sekali hari itu, mulai dari keraton, hingga Malioboro, hingga ke penginapan di dekat Tugu Jogja. Tapi ya sudahlah, orang Jepang kan kuat berjalan jauh, apalagi mereka masih muda yang tentu saja tergolong masih sangat fit. Malam harinya, kami membeli makan di kedai burjo yang tak jauh dari penginapan, tepat sekali dekat dengan Tugu Jogja. Mereka kaget bahwa ternyata makanan di kedai burjo jauh lebih murah dan porsinya juga banyak sekali. Hanya dengan merogoh kocek kurang dari 100 yen alias 13.000 rupiah, mereka sudah bisa makan dan minum hingga kenyang. Kento dan Riki memesan nasi goreng telur dan kopi susu sedangkan aku memesan mie goreng lengkap dengan telur dan teh tawar hangat. Mereka bilang, “Jogja mantep banget, makanannya murah dan enak, suasananya ramah dan laid back, serta banyak situs menarik. Nyesel ngambil pilihan Student Exchange ke Malaysia jadinya”. Aku hanya tertawa ringan saja, melihat mereka yang masih pusing diburu tugas kuliah di Malaysia padahal sedang liburan (baca: bolos). Yang lebih mengherankan lagi, grup chat kelasnya rata-rata berbahasa Melayu dan sedikit sekali menggunakan Bahasa Inggris yang jelas saja mereka tak paham hingga mereka memintaku untuk menerjemahkannya. Semangat WFH (Work from Hotel) gaes !!!

Begitulah aku menutup hari ke-4 ku bersama Riki & Kento. Selanjutnya, kami menggunjungi beberapa tempat yang tak kalah menarik. Dimana tuh? Mari kita simak di postingan selanjutnya!

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: