Tiga Pemuda Keliling Jawa 2 – Batavia

_____ Hari ke dua di Indonesia, aku berencana mengajak kedua temanku yang baru saja datang kemarin keliling Ibukota Negara, Jekardah Jakarta. Agar lebih dekat dengan lingkungan Jakarta, aku mengajak mereka berkeliling menggunakan kendaraan umum saja, seperti bis TransJakarta dan kereta Commuter Line Jabodetabek. Saat berangkat, kami menggunakan bis yang beroperasi di koridor 1, yaitu trayek Blok M hingga Jakarta Kota. Jelas saja, karena hari itu kami berencana pergi ke Monas dan Kota Tua, salah 2 dari sekian tempat di Jakarta yang bisa dikunjungi dengan mudah menggunakan kendaraan umum dalam 1 hari. Selain itu, untuk masuk ke kedua tempat tersebut juga tidak perlu mengorek kantong terlalu dalam karena harganya yang terjangkau. Namun, karena hari itu adalah hari Jumat, maka aku harus mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk Jumatan. Makanya, hari itu aku juga mengajak Niki, teman SMA ku yang berkuliah di UI untuk ikutan. Niki mengatakan kalau ia sendiri juga ada acara di Jakarta, jadi bisa sekalian menemani kami sebelum acaranya dimulai. Untuk aksesnya sendiri, aku sudah memberikan kartu Brizzi edisi khusus Asian Games yang baru saja selesai setengah tahun lalu kepada Riki dan Kento, yaitu kartu bergambar Atung (si rusa) kepada Riki dan Ika (si badak) kepada Kento. Jadi, untuk masalah transportasi beres deh!

_____ Sesampainya kami di halte Gelora Bung Karno, kami segera bersiap-siap untuk naik bis menuju Jakarta Kota. Aku heran melihat mereka yang terkaget-kaget sekaligus kagum karena Jakarta punya sistem bis dengan halte dan rute yang kompleks. Emang, di Tokyo rute bisnya tidak sekompleks Jakarta dan haltenya pun hanya sekedar halte biasa di trotoar, bukan di tengah jalan lengkap dengan loket dan ruang gerak yang lumayan luas. Berhubung Kento adalah mahasiswa jurusan arsitektur atau planologi (entah apa itu), jadi ia memotret cukup banyak di halte bis itu. Karena hari itu masih pukul 10 pagi, maka sepertinya masih sempat untu mengejar sholat Jumat di sekitar Monas karena terdapat Masjid Istiqlal di dekatnya. Tak lama kemudian, bis menuju Jakarta Kota pun tiba di halte GBK dan kami masuk ke dalamnya. Untunglah hari itu bis sedang sepi sehingga kami semua bisa duduk dengan nyaman. Shuppatsu~

Suasana halte bus di koridor 1. Blok M – Kota (source: Kento’s gallery)
Jembatan penyebrangan di daerah Senayan (source: Riki’s gallery)

_____ Aku tidak menyangka sepanjang perjalanan bisa melihat mereka begitu antusias memotret dan melihat-lihat Kota Jakarta dari balik jendela bis. Katanya, Jakarta nggak seburuk yang digambarkan di media sosial, paling macetnya aja sih yang iya. Hal yang paling membuat mereka kagum adalah biaya transportasinya yang kelewat murah, yaitu hanya dengan Rp 3500 (atau sekitar 30 yen) sudah bisa berkeliling Jakarta sepuasnya. Hal tersebut tentu sangat kontras dengan tarif bis di Jepang, khususnya Tokyo yang berjarak 1 halte saja sudah bisa memakan ongkos lebih dari 100 yen (atau sekitar 13.000 rupiah). Kekaguman mereka semakin WOW saat melihat daerah yang lebih elit lagi di sekitar Bundaran HI – Plaza Indonesia karena di Tokyo tidak ada bundaran besar dengan air mancur seperti itu, apalagi di jalan protokol. Anggep aja itu Shibuya Scramble gaess….

_____ Setelah sampai di halte Jakarta Kota, kami turun dari bis dan keluar dari halte menuju musium yang ada di sekitar halte. Namun sayangnya, musium di area Kota Tua tersebut sudah pada tutup meskipun baru menunjukkan pukul 11 siang. Mungkin saja, musium tutup lebih awal karena mau bersiap-siap pergi jumatan. Meski demikian, Kento tampkanya jengkel karena setelah mas penjaga musium mengatakan tutup, ia langsung melihat jam tangannya yang menunjukkan masih jam 11 kurang 15 menit. Ya sudahlah, aku kemudian mengajak mereka berdua pergi menuju Masjid Istiqlal saja agar aku bisa jumatan dan mereka bisa kutitipkan ke Niki yang seharusnya akan datang ke Stasiun Juanda dari Stasiun UI. Kami pergi ke halte bis Juanda dari Kota Tua menggunakan bis tingkat yang disediakan oleh Tahir Foundation secara cuma-cuma. Kami duduk di kursi bagian atas bis agar bisa melihat pemandangan di jalanan. Syukurlah, mereka tampaknya sudah lega dan tidak jengkel lagi dengan perihal ditutupnya musium lebih awal dari jam seharusnya karena mereka tampak asik menikmati bis dari lantai 2. Meski jalanan macet, tapi setidaknya mereka masih bisa bersabar dengan kondisi tersebut Sebenarnya, kalau jalanan macet, merek tidak perlu menunggu Niki lama-lama di stasiun karena Niki masih dalam perjalanan menuju stasiun dengan kereta Commuter Line.

_____ Saat sampai di halte Juanda, kami pergi ke Stasiun Juanda untuk menunggu Niki. Karena Niki sepertinya masih lama untuk tiba di Stasiun Juanda, aku membelikan mereka Roti-O sebagai camilan sambil menunggu Niki. Setelah Niki tiba di Stasiun Juanda, aku menitipkan mereka pada Niki yang rencananya akan diaja berkeliling ke kafe yang ada di sekitar Masjid Istiqlal, salah satunya adalah kafe gelato yang bernama Ragusa. Kafe tersebut berada di antara Istiqlal dengan Monas sehingga pas banget dengan rute perjalanan kami. Aku pun jadi bisa sholat jumat dengan leluasa. Sebenarnya aku bisa mengajak mereka masuk ke Istiqlal, namun karena masjidnya sangaaattttt ramaaaaiii, jadi aku takut mereka jadi sasaran empuk pelaku kejahatan (tahu kan kalau masjid ramai banget sering ada yang kehilangan barang). Bersyukurlah ada Niki yang bersedia menemani mereka sambil menunggu acara di daerah Jakarta setelah ashar nanti, sehingga bisa disebut win-win solution lah. Terlebih, Niki juga tak asing dengan orang Jepang berhubung mantan pacarnya adalah orang Jepang juga.

Rute jalan kaki dari halte transjakarta Juanda menuju kedai Es Krim Ragusa (source: google maps)
Penampakan kedai Es Krim Ragusa dari depan (source: google maps)
Es krim Italia di kedai Ragusa (source: Riki’s gallery)

_____ Seusai jumatan, aku berjalan keluar Masjid Istiqlal menuju kedai es krim yang dimaksud. Karena aku belum pernah kesana sebelumnya ataupun mendengarnya, jadi aku membuka google maps untuk memandu langkahku. Rupanya, kedainya terletak tidak jauh dari Masjid Istiqlal maupun halte busway, cukup berjalan kaki sebentar saja menyusuri jalan di seberang sungai Masjid Istiqlal dan kita sudah bisa menemui kedainya. Namun, saat aku kesana, rupanya mereka sudah hampir menghabiskan es krimnya. Yaah, nggak kebagian dong? Untungnya, porsi es krim Kento masih tersisa sedikit lagi sehingga aku masih bisa mencicipi es krimnya. Rasa eskrimnya lumayan enak, mirip banget dengan es krim gelato Italia. Untuk tekstur dan rasanya beda banget dengan es krim yang biasa ditemui di swalayan, mungkin karena memang pemilik kedai membuatnya dalam jumlah terbatas sehingga memang lebih fokus untuk mengejar kualitas dan craftmanship daripada kuantitas untuk dijual secara massal. Untuk harga es krimnya sendiri, kata Kento dan Riki sih 30.000 per mangkuk, tapi dengan ukuran yang cukup dan rasa serta tekstur yang wah, menurutku sih worth it untuk harga segitu. Lagipula, bagi orang Jepang, harga segitu sama aja dengan es krim pabrikan yang dijual di swalayan kok dan untuk icip-icip atau jalan kuliner sih boleh banget dicoba. Suasana bagian dalam kedainya pun juga dibuat dengan atmosfer ala Italia, terlebih bangunan tuanya yang tak luput dari stained glass dan rustic theme. Oh iya, es krim sejenis ini juga ada lho di Surabaya yang bernama Zangrandi, yang juga sudah berdiri dari jaman jadoel bahkan dari zaman orang tua kecil dulu.

Riki & patung Diponegoro (source: personal gallery)
Monas dan 3 petualang (source: personal gallery, taken by Niki)

_____ Usai menghabiskan es krim, kami berjalan menuju monas melalui trotoar dari kedai Ragusa. Setelah bertemu pertigaan, kami harus menyebrang jalan raya dan whup, kami sudah tiba di trotoar Monas. Karena masih sepi, jadi kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto di luar. Meski cuaca sedang mendung dan udara sedang gerah-gerahnya, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat kami untuk mengunjungi Monas. Niki pun bersedia untuk ikut berfoto bersama kami dan memotret kami bertiga. Setelah berfoto di luar Monas, kami masuk ke dalam monas melalui pintu masuk yang tersedia agak terpisah dari bangunan utama, tapi tersambung di bagian bawah tanahnya. Suasana di dalam Monas saat itu sebenarnya tidak terlalu ramai dengan pengunjung lokal, tapi terdapat beberapa wisatawan mancanegara baik itu asia maupun yang bule-bule.

_____ Mula-mula, kami mengunjungi bagian musium yang ada di bagian cawan Monas. Kento dan Riki tampak terpukau melihat sejarah Indonesia yang terpajang disana, termasuk sejarah saat zaman penjajahan Jepang (hayoloh~). Seusai melihat figurin sejarah, kami naik ke atas cawan untuk mengantri menuju lift ke puncak monas. Antriannya cukup panjang sehingga untuk masuk saja diberikan kloter kloter berdasarkan tiket masuk. Kami mendapat urutan kloter ke-8 dan saat itu masih kloter 2. Makanya kami masih berleha-leha di puncak cawan sambil menunggu antrian yang berjalan perlahan. Meski begitu, sepertinya Niki sudah ingin pergi ke tempat acara sehingga iapun pamit kepada kami semua dan pergi meninggalkan kami. Daa~ Daa~ Niki. Setelah kloter 8 dipanggil, barulah kami masuk ke dalam lift dan cuusss naik ke puncak emas Monas.

Pemandangan dari puncak Monas (source: Riki’s & Kento’s gallery)

Sisi monas yang menghadap perpusnas (source: Kento’s gallery)
Entah kenapa disini Riki mirip aktor Takeuchi Ryoma (source: Riki’s gallery, taken by me)

_____ Sesampainya di puncak Monas, kami bisa melihat keseluruhan area monas hingga istana negara, perpusnas, Stasiun Gambir, dll. Karena langit sedang separuh mendung, jadi kami bisa berfoto di sebagian sudut puncak Monas. Setelah puas mengambil beberapa gambar di puncak Monas, kami turun ke bagian cawan dan segera keluar dari Monas untuk pergi ke Kota Tua Jakarta menggunakan bis yang disediakan gratis di halte Monas. Aku sedikit bertaruh dengan waktu apakah sempat atau tidaknya menuju musium yang ada di wilayah Kota Tua. Dan… yah, rupanya tidak sempat karena jam sudah menunjukkan pukul 3 dan beberapa musium sudah ada yang mau tutup. Alhasil, kami hanya berkeliling di alun-alunnya saja. Kami juga pergi ke kantor pos tua yang di dalamnya terdapat beberapa toko yang berjualan boneka serta sepatu. Kento sepertinya berniat membelikan boneka murah untuk pacarnya, sedangkan Riki malah membeli sepatu. Kenapa malah beli sepatu? Karena katanya ia tidak bawa sepatu untuk nanti bertamasya keliling Jawa, tepatnya saat mendaki gunung sehingga ia memutuskan untuk membeli sepatu di Indonesia saja. Akhirnya, mereka berdua pun belanja barang-barang yang harganya kurang dari 100 ribu rupiah, benar benar harga mahasiswa.

Suasana trotoar di Kota Tua Jakarta (source: Riki’s gallery)
Meriam dan alun alun Kota Tua Jakarta (source: Kento’s gallery)
Kento dan Musium Fatahillah (source: Kento’s gallery, taken by me)
Bonekanya murah banget lho (source: Kento’s gallery)

_____ Setelah puas dari Kota Tua, tiba saatnya untuk kami pulang. Aku mengajak mereka untuk naik kereta Commuter Line Jabodetabek yang kupikir bisa memberi mereka sedikit nostalgia dengan kereta lama Jepang. Jelas saja, kereta yang saat ini beroperasi sebagai kereta Commuter Line adalah kereta bekas JR (Japan Railways) sehingga mungkin memberikan sedikit nuansa klasik bagi orang Jepang meski beberapa tulisannya sudah dihapus atau diganti dengan tulisan Bahasa Indonesia. Mereka juga ternyata merasa demikian dan masih menemukan beberapa tulisan Jepang di kereta, seperti yang ada di bawah gerbong, di kotak lampu darurat, dan bagian bawah kursi penumpang. Meski demikian, mereka merasa bahwa kecepatan keretanya diset menjadi sangat lambat jika dibandingkan dengan yang ada di Jepang. Nah, untuk ini aku tidak tahu ya karena aku sendiri belum banyak menaiki kereta terbitan JR di Jepang. Tapi, jika memang iya, ya hal itu mungkin saja karena kereta yang digunakan di Jabodetabek merupakan kereta JR tipe lama yang mungkin saja dari segi kecepatan memang lebih pelan. Alasan lain yang mungkin masuk akal untuk kuberikan pada mereka adalah karena menyesuaikan dengan kondisi rel dan jarak antar stasiun.

Keramaian di Stasiun Jakarta Kota (source: Riki’s gallery)
Kereta menuju bogor sudah ada! (source: Kento’s gallery)

_____ Saat tiba di Stasiun Manggarai, kami turun dari kereta dan bersiap untuk transit dengan kereta lainnya. mereka tampak kaget melihat kerumunan orang yang membanjiri stasiun Jelas saja, saat itu adalah jam pulang kerja dan bukan hanya sekedar jam pulang kerja, melainkan hari Jumat petang sehingga jelas terasa padatnya. Untuk masuk ke kereta pun kami butuh kesabaran dan kekuatan ekstra dalam berjibaku menerjang kerumunan. Akhirnya setelah berpadat-padatan di kereta, kami bisa sampai rumahku dengan selamat. Malam itu, kami makan rawon yang dibuat oleh ibuku karena aku memesan rawon dari ibuku agar Kento dan Riki bisa mencicipi rasa khas Indonesia yang lebih orisinil. Selamat maka~n. Setelah makan, kami segera beristirahat agar keesokan harinya bisa beraktivitas dengan segar dan bugar.

Senja di Stasiun Manggarai (source: Kento’s gallery)

Selanjutnya, kami tidak mengitari Jabodetabek lagi, tapi sudah menuju daerah lainnya. Kemana tuh? Simak postingan selanjutnya!

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: