_____ Salju yang turun perlahan-lahan di depan tempat rental memberi isyarat pada kami yang baru saja datang setelah menempuh perjalanan 8 jam dari Tsukuba untuk segera mengangkat tongkat dan menurunkan papan. Ya, meskipun baru saja melalui perjalanan jauh yang melelahkan (dan membuat leher pegal), kami tetap bersemangat untuk ber-ski hari itu. Namanya juga manusia negeri tropis, begitu lihat salju langsung girang minta ampun. Semangat yang tak terbendung itu juga tampaknya tak hanya terlihat pada manusia-manusia tropis tersebut, tapi juga orang Jepangnya sendiri seperti Kohei, kapten kami semua. Saat keluar dari tempat rental alat ski, kami hanya perlu berjalan sedikit dan mendaki tanjakan. Dari sana, kami bisa menemukan arena ski yang putih bersih seperti tanpa noda. Sepanjang mata memandang, hanya ada orang-orang yang bermain ski dan snowboard, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, bahkan ada lansia juga lho. Langkah kaki menjadi semakin berat ketika kami melangkah ke arena ski karena sepatu yang kami gunakan adalah sepatu khusus olahraga salju yang memang berat dan anti selip sehingga tidak membuat kami tergelincir di atas salju yang lembut itu.
_____ Sesampainya di area ski, hal yang bisa kami temui disana adalah beberapa pertokoan yang tampaknya adalah pusat informasi, tempat makan, tempat peminjaman kendaraan salju, dan bangunan lift ski. Tampak banyak anak muda yang sedang bermain ski maupun snowboard di sana, mungkin mereka sedang menghabiskan waktu liburan musim dinginnya. Berdasarkan informasi, tempat ski tersebut tergolong ke dalam level pemula sehingga aman-aman saja untuk dipakai bermain oleh orang yang belum pernah menyentuh papan ski dan snowboard seperti kebanyakan dari kami. Bicara soal ski, sepertinya Emi sudah cukup jago dalam hal tersebut karena caranya berjalan dan membawa peralatan ski sudah tidak seperti amatiran jika dibandingkan dengan mahasiswa Jepang lainnya. Untuk orang non Jepangnya sendiri, sepertinya Minh juga bukan seorang amatiran karena ia pernah main ski sebelumnya, bahkan membawa jaket ski sendiri. Duuh aku bisa nggak ya?
_____ Saat berada di arena ski, Kohei, Aiko, dan Yuyu mengajarkan kami bagaimana caranya bermain ski. Pertama-tama, kami harus belajar bagaimana caranya berdiri tegak di atas papan ski. Kemudian, kami harus bisa mengatur beban tubuh baik itu ke depan maupun ke belakang secara merata agar tidak berat di 1 kaki (karena kalau terlalu berat sebelah jadi gampang jatuh, kecuali ingin belok). Kemudian, kami harus bisa memanfaatkan tongkat ski untuk “mendayung” di atas salju agar bisa mengatur kecepatan dan arah belok. Sekilas, penjelasannya tampak mudah, namun praktiknya, huft~ sulit bukan main. Diantara kami, sepertinya Mizan dan Enzo merupakan orang yang bisa lebih awal untuk bermain ski. Yang lain pun tampak tak mau kalah dengan mereka berdua sehingga masih terus belajar dan belajar meski harus terguling, terjatuh, dan terpeleset. Setelah sekitar 1 jam berlatih di area yang agak datar, Rae dan Nurul tampaknya sudah mulai bisa mengendalikan papan dan tongkat skinya. Aku yang melihat mereka bisa mulai melaju, mengerem, dan berbelok secara perlahan jadi merasa iri. Aku kapan bisanya~ hiks
Pemanasan di tanah datar dulu (source: Reen’s, Fabio’s, & my gallery)
_____ Setelah 1 per 1 mulai bisa memakai papan dan tongkat skinya (meski diiringi dengan jatuh dan terguling), Kohei dan Emi mulai mengajak kami untuk naik ke puncak bukit ski agar bisa merasakan langsung serunya bermain ski (seru gundulmu, aku masih sering jatuh nih! wkwk). Aku, Camille, Shauna, Ezwan, dan Nurin sepertinya masih perlu banyak berlatih di tanah datar dulu. Sementara kami terus berlatih dan tertatih, beberapa dari teman-teman kami sudah naik lift menuju puncak bukit. Hal tersulit bagiku adalah menyeimbangkan 2 kaki agar tidak berbentuk menyilang atau melebar. Jika kakiku menyilang atau melebar, maka besar kemungkinan aku tidak akan berdiri dan meluncur lebih dari 3 detik. Sepertinya olahraga ski ini lebih menyukai orang yang proporsional dari segi tinggi dan berat. Karena aku terlalu tinggi namun terbilang ringan, makanya mungkin aku agak kesulitan di bagian tersebut. Mungkin hipotesisku benar adanya karena diantara cowok-cowok yang ada, akulah yang paling tinggi dan paling ringan. Apakah ada kaitannya antara proporsi berat badan dengan kemudahan bermain ski?
_____ Selang beberapa waktu, Shauna dan Camille sepertinya mulai bisa setelah beberapa kali terjatuh, bahkan mungkin ada sampai 10 kali. Aku juga akhirnya bisa melakukannya setelah mereka, setidaknya aku bisa berdiri seimbang dan meluncur hingga 10 detik karena setelah itu pasti terjatuh lagi. Bahkan, pernah saking kecangnya aku meluncur dan terjatuh, salah satu papan ski ku sampai terlepas dan meluncur dengan sendirinya. Tak hanya meluncur saja, namun hampir mengenai seorang bocah yang sedang belajar berjalan di atas salju. Untunglah ada Ezwan di bawah sehingga ketika ku berteriak, ia langsung merespon dan menendang papan ski ku ke samping sehingga tidak terjadi insiden. Ezwan sendiri juga sepertinya kesulitan untuk berdiri di papan ski sehingga lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain salju dan meluncur di tanah datar.
“Untung ketendang, coba kalo kena. Bisa berabe masalahnya. Aku bisa nginep di pos polisi, bukan di hotel :(“
Aku
_____ Setelah mulai lancar, aku dan Shauna mulai mencoba untuk naik lift ski agar bisa mencoba meluncur dari atas. Beberapa teman yang lain sepertinya sudah pernah naik dan turun, bahkan ada yang sudah berkali kali seperti Emi dan Kohei. Saat naik ke lift ski, kita harus memasangkan papan skinya di kaki kita (jangan dilepas) sehingga ketika sudah sampai puncak kita bisa meluncur dengan langsung. Saat akan naik lift, aku merasa ngeri-ngeri sedap gitu karena jalan menuju lift licin akibat salju yang sudah mencair dan membeku lagi sehingga terbentuk lapisan es. Selain itu saat naik lift, hanya ada pengaman berupa sebatang logam yang menahan perut kami agar tidak jatuh. “Shauna… aku takut nyemplung nih ke bawah. Mana kakiku gelantungan gitu” kataku kepada Shauna yang duduk di sebelahku. “Sama, kamu enak masih gedean dikit badannya. Aku bisa merosot loh ke bawah. Iya kalo kena salju, kalo kena yang lain, ngeri kan.” katanya sambil agak merinding. Perjalanan dari lift bagian bawah hingga lift bagian atas kira kira memakan waktu antara 5-10 menit. Pemandangan dari lift memang bagus, karena kita bisa melihat hutan-hutan yang berada di sisi kiri dan kanan area ski, sambil melihat ke bawah dimana orang orang sedang meluncur (yang ini agak horor sih, terutama buat yang takut ketinggian).
_____ Sesampainya di atas, kami bisa melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Di kejauhan, tampak banyak gunung yang tertutup salju, beserta sawah dan hutan serta perkebunan ynag memutih. Tak hanya itu, kota-kota yang tertutupi oleh saljupun tampak indah karena bagaikan di negeri dongeng, mungkinkah ini Arendelle? “Shauna, siap turun?” tanyaku pada Shauna yang tampak gemetar karena cukup curam kemiringannya (bagi pemula seperti kami sih iya). “Ayok aja, kamu dulu gih” katanya. Waduh, kok jadi aku dulu, ya sudah aku coba turun pelan pelan dan ya…. Akhirnya bisa juga, bisa terjatuh dalam 10 detik maksudnya. Shauna bisa meluncur sedikit lebih lama sebelum ia menabrak gundukan salju dan terjatuh karenanya. Aku coba berdiri lagi dan meluncur, namun masih jatuh jatuh juga, bahkan di beberapa titik aku sempat terjatuh dalam 5 detik. Hal yang terparah adalah ketika aku terjatuh hingga terguling dan sepertinya aku mengalami keseleo di bagian leher dan kaki karenanya. Tak hanya itu, sebagian tubuhku pun tercelup ke dalam salju dan tongkatku sampai terlempar akibat jatuh tersebut. Ingin mengambil dengan mudah? Harus lepas papan ski dan itu bisa berbahaya karena papannya berkali kali bisa meluncur sendiri. Mau mengambil tanpa risiko papan mengenai orang? Mesti dipakai terus dan itu licin bukan main. Akhirnya, setiap kali ku terjatuh dan ada barang yang terpental, aku harus menancapkan papan ski ku ke salju dalam dalam agar tidak meluncur.
_____ Setelah naik turun untuk kali pertama, kedua, ketiga, akhirnya aku mulai sedikit lebih jago (meskipun paling lama hanya 20 detik dan itu juga udah belibet rasanya). Beberapa teman yang lain seperti Kohei, Emi, Enzo, dan Mizan tampaknya sudah lebih dari 5 kali bolak balik dan masih tampak aktif bolak balik. Bahkan, Mizan kelihatannya ingin belajar teknik bergaya sambil meluncur. Karena itu hal yang tak mungkin bagiku dalam waktu dekat, akhirnya aku memutuskan bahwa aku naik dan turun lagi sampai 5 kali saja karena badanku sudah sakit semua. Pada kali ke 5 aku naik, aku sudah bisa bertahan selama 20 detik dengan lebih stabil, makanya aku bisa memegang kamera sambil selfie meskipun akhirnya setelah itu langsung jatuh. Untungnya kameraku tidak terlepas dari gagangnya dan tidak terkubur di salju. Karena tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat sedikit, aku pergi ke pusat informasi yang terletak di bangunan berwarna kuning untuk sholat zuhur sekaligus ashar yang dijamak qashar.
_____ Awalnya aku bingung mau wudhu dimana, tapi ingatlah bahwa di sekitar kami banyak air, bahkan banjir. Yap, apalagi kalau bukan salju. Aku melepas peralatan ski ku dan membariskannya di tempat yang sudah disediakan. Aku pun berwudhu dengan salju yang sudah kucairkan dengan telapak tangan. Dingin sih, tapi sejujurnya tidak sedingin di Tsukuba, mungkin karena pengaruh tekanan udaranya yang lebih rendah di puncak pegunungan. Tubuhku memang kadang agak aneh karena bisa kedinginan di saat orang lain tidak kedinginan dan tidak kedinginan di saat orang lain sedang kedinginan. Seusai berwudhu, aku masuk ke dalam pusat informasi dan meminta izin untuk sholat di pojokan. Awalnya kukira aku akan direspon secara biasa aja seperti “oh, silahkan” atau direspon dengan dingin, tapi ternyata aku salah. Ibu resepsionis bilang bahwa aku boleh sholat di pojokan, bahkan ia pun mencoba menggeser meja dan kursi yang ada di pojokan agar aku lebih lega sholatnya. Karena agak segan, aku juga turut menggeser meja dan kursi tersebut sambil mengatakan, “terima kasih bu, nanti kalau sudah selesai saya bereskan lagi”. Sang ibu resepsionis kemudian kembali ke mejanya untuk menulis sesuatu dan aku bisa sholat di ruangan tersebut. Seusai sholat, tak lupa aku membereskan meja dan kursi ke tempat semula seraya mengucapkan terima kasih kepada ibu resepsionis.
Everybody, ride the ice! (source: personal gallery)
Tidur di salju aja ah! (source: personal snapshot)
_____ Setelah keluar dari ruang informasi, aku pergi menemui teman temanku yang sedang rebahan di atas salju. Shauna dan Enzo mengajak yang lain untuk makan siang bersama. Namun karena kondisinya kami sedang terpencar pencar (ada yang di bawah dan ada yang di atas bukit), maka kami menunggu yang sedang di atas bukit sampai di bawah agar bisa makan bersama sama. Saat jam menunjukkan pukul 1 siang, akhirnya semuanya sudah berkumpul di depan bangunan pujasera berwarna kuning. Kami menaruh alat ski kami ke tempat yang disediakan dan masuk ke dalam. Di dalam restoran, kebanyakan menunya adalah ramen yang tentu saja sebagian dari kami tidak bisa makan. Makanya, beberapa dari kami memilih untuk membeli di restoran yang lain dan membawanya ke pujasera tersebut untuk makan bersama. Siang itu, aku hanya membeli nasi dengan ikan makarel (saba) panggang saja dengan telur. Beberapa teman-teman yang lain membeli ramen, udon, dan nasi kare.
_____ Setelah makan siang, kebanyakan dari kami hanya bermain-main dengan salju saja, mulai dari membuat boneka salju, mengubur di salju, hingga perang bola salju. Sepertinya semuanya sudah pada kelelahan setelah terjatuh dan terjatuh lagi (play peterpan song). Aku pun juga ikut bermain perang bola salju saja, berhubung kaki dan leherku sudah terkilir. Kohei memberitahu pada kami semua bahwa orang yang bisa bermain ski belum tentu bisa bermain snowboard, dan bisa juga sebaliknya. Menurutnya, yang hari ini bersusah payah dalam main ski kemungkinan besok akan sumringah saat main snowboard (masa sih?). Setelahnya, ia pun berlalu dan menaiki lift ski lagi bersama teman-teman yang masih ada energi seperti Enzo, Emi, Fabio, dan Mizan. Di bawah bukit, tersisa beberapa panitia liburan seperti Yuyu dan Aiko. Mereka menjelasan kalau waktu kami di tempat ski itu hanya sampai pukul 3 sore, setelahnya baru akan dijemput oleh paman pemilik hotel. Wah, jadi tak sabar untuk segera ke hotel dan istirahat.
_____ Saat pukul 3 sore, kami semua menyudahi permainan skinya dan kembali ke tempat rental untuk melepas semua peralatan skinya. Sebelum kembali, tentu aku dan Fedi mengambil foto terakhir di tempat ski sebagai kenang-kenangan, maklum, di Indonesia tidak ada ski di alam bebas seperti itu. Peralatan yang kami bawa menuju hotel hanyalah jaket ski, kacamata ski, dan sepatu ski. Setelah menanggalkan semua peralatan dari tubuh, kami mengeluarkan barang bawaan dari loker. Untunglah barang bawaan kami semua aman tanpa rusak atau hilang sedikitpun meskipun 1 loker berisi 3-4 tas sekaligus. Tak lama kemudian, paman pemilik penginapan pun datang dengan mini van tuanya. Kami naik ke dalam van 1 per 1, dengan membawa seluruh barang bawaan kami ke dalamnya. Perjalanan dari tempat rental peralatan ski ke hotel memakan waktu sekitar 10 menit. Meski sepanjang perjalanan langit sudah mulai gelap, namun kami masih bisa melihat rumah-rumah pedesaan yang berbalut salju.
(純白の雪が降る) Junpaku no Yuki ga furu (source: personal gallery, taken by Fedi)
Wahh.. jadi penasaran ya, agenda apa yang akan kita lakukan keesokan harinya? Mari baca postingan selanjutnya!
つづく~~>
Leave a Reply