_____ Akhir pekan datang lagi, tetapi kali ini ada yang sedikit berbeda yaitu ada pakde yang datang ke Jepang. Tapi karena pakde hanya datang untuk keperluannya dan hanya sebentar di Jepang, ia memesankan kamar hotel kapsul di sebuah hotel di Asakusa agar siapa tau bisa ketemu nanti di Tokyo. Hari itu juga, kebetulan aku juga akan ke Tokyo untuk bertemu dengan teman SMA-ku, yaitu Niki yang baru saja tiba di Jepang 2 minggu untuk ke rumah pacarnya yang ada di daerah Tohoku. Karena hari itu Niki akan datang ke Tokyo, aku pun memutuskan untuk bertemu dengannya agar bisa memberikan oleh-oleh khas Tsukuba sebelum ia pulang ke Jakarta melalui bandara Narita. Jadi, hari itu, aku pergi ke Tokyo untuk kedua kalinya seorang diri dari Tsukuba menggunakan Tsukuba Express dan turun di stasiun Akihabara.
_____ Hari itu aku berangkat agak sore setelah part time, maklum, hari itu sedang ramai karena sedang akhir pekan sehingga memang perlu kerja ekstra. Sepulangnya dari part time, aku segera sholat ashar dan mengemas semua barang yang diperlukan untuk diberikan ke Niki dan dipakai untuk menginap di hotel kapsul yang sudah dipesankan Pakde. Aku berangkat dari Tsukuba pukul 3 sore dan sayangnya cuaca sore itu kurang mendukung karena hujan ringan meski suhu agak hangat hingga sekitar 7-8 derajat (untuk sore di musim dingin ini termasuk hangat ya). Beruntung, aku mendapat kereta berjenis rapid sehingga bisa sampai di Stasiun Akihabara kurang dari setengah jam. Saat aku menghubungi Niki, ia mengatakan bahwa mereka habis dari Tokyo Camii, masjid akbar yang terletak di Tokyo dan akan menuju Musium Edo-Tokyo, jadi stasiun terdekat yang memungkinkan untuk bertemu adalah Stasiun Ryōgoku. Aku pun segera keluar dari peron Tsukuba Express dan berganti ke peron menuju line yang dimaksud. Untungnya, di Tokyo tidak hujan sama sekali sehingga perjalanan seharusnya akan menjadi lebih mudah.
_____ Setibanya aku di Stasiun Ryōgoku, aku sholat maghrib terlebih dahulu di sebuah taman kecil yang terletak tak jauh dari stasiun. Maklum, karena baru saja masuk waktu maghrib sekitar pukul 4.10, maka lebih baik disegerakan sebelulm nanti keliling-keliling dan kelewatan waktu maghribnya. Seusai sholat, aku pergi ke sebuah pujasera yang ada di belakang Stasiun Ryōgoku. Pujaseranya memiliki desain interior yang menarik, yaitu berbentuk kota jepang pada zaman samurai dengan area tengah berbentuk ring untuk olahraga sumo. Aku pun menunggu Niki di dalam pujasera tersebut sambil mengisi baterai HP ku di powerbank. Aku akhirnya bertemu Niki pada pukul 17.16 sore bersama dengan temannya, Nanae, dan pacarnya, Kakeru. Dari pujasera Ryōgoku tersebut, Niki mengajakku untuk masuk ke Musium Edo-Tokyo. Namun saat akan membeli tiket, aku kaget bahwa tiket masuknya lumayan mahal sehingga aku mengurungkan diri untuk masuk ke dalam dan memilih untuk menunggu di bagian lantai dasar musium (lantai dasarnya sih gratis).
_____ Di lantai dasar, aku hanya berjalan jalan dan melihat-lihat pajangan yang dipajang disana serta tayangan di layar kaca besar yang ada. Jadi, Musium Edo-Tokyo ini merupakan musium yang memamerkan benda-benda peninggalan zaman dahulu, khususnya pada tahun 1590 – 1964. Dari TV, aku melihat tayangan berupa perbandingan Tokyo pada zaman dahulu (yang masih disebut Edo) dan Tokyo zaman sekarang. Rupanya Tokyo itu memiliki 2 sisi yang berlawanan sekaligus dalam 1 prefektur. Di suatu sisi terdapat robot-robot canggih beserta teknologi lainnya sedangkan di sisi lain sangat konservatif dengan budaya asli Jepang. Sambil menunggu, aku memakan dango yang sebelumnya telah kubeli dari supermarket di Tsukuba. Pada pukul 18.34 malam, mereka akhirnya turun dari lantai atas dan menemuiku di lantai dasar. Tujuan mereka selanjutnya sebelum Niki pergi ke bandara adalah kafe kucing yang terletak tak jauh dari Musium Edo-Tokyo. Karena cukup dekat, kami hanya perlu berjalan sedikit dari musium. Tak terasa, ternyata baru saja gerimis di Tokyo sehingga jalanan tampak basah dan mengkilap.
Potret beberapa kucing di kafe kucing (source: personal snapshot)
_____ Masuk ke kafe kucing tentunya memakan biaya yang tidak sedikit, tapi karena penasaran, akhirnya aku merogoh kocek juga untuk ikut masuk. Bye~ my munny… Saat masuk, kami disemprotkan desinfektan oleh petugasnya dan diharuskan melepas sepatu serta mengganti ke sepatu yang sudah disediakan oleh pihak kafe kucing. Di kafe kucing ini, kita bisa bermain dengan kucing dalam selama batas waktu tertentu (dihitung per jam), makan bersama kucing, dan sebagainya. Karena tempat ini dijaga seketat mungkin agar steril dari makanan luar, jadi kita harus membeli makanan langsung di dalam jika ingin makan bersama puluhan kucing yang tinggal disini. Ruangan untuk kucingnya sendiri ada bermacam macam, mulai dari ruangan dengan desain ala Jepang, ruangan dengan desain tempat tempat khusus, hingga ruangan dengan latar polos bagi mereka yang ingin berfoto dengan kucing tanpa gangguan latar belakang.
_____ Kucing-kucing yang ada di kafe kucing tentu memiliki sifat yang bermacam-maca. Ada yang manis dan cepat ramah dengan manusia, ada yang pemalu, namun ada juga yang masih garong. Salah satu yang cukup ramah adalah yang putih seperti pada foto di atas yang selalu melihat ke arah kami. Kami berada di dalam kafe kucing selama 1 jam, dan itu rasanya sudah puas banget bermain dengan para kucing. Kami juga menyempatkan diri untuk mengambil foto bersama mereka dan tak lupa foto bersama yang diambil oleh petugas kafe. Seusai bermain di kafe, kami melepas sepatu khusus dan kembali medisinfeksi diri kami sebelum pulang. Setelah itu, barulah kami mengambil barang bawaan kami yang dititipkan di resepsionis dan keluar dari kafe kucing. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Saatnya makan malam, tapi dimana yah??
_____ “Ah, gmn kalau kita makan di pujasera yang ada di belakang Stasiun Ryōgoku saja, disitu ada banyak jenis makanan dan mungkin saja ada makanan halal. Atau setidaknya ramah muslim” ajakku kepada yang lainnya mengingat diantara kami ada 3 orang yang butuh perhatian khusus dalam hal makanan. Selanjutnya, kami berjalan menuju pujasera yang kumaksud dan mencari restoran yang sekiranya memungkinkan. Untunglah, ada Kakeru dan Nanae yang tentu saja Bahasa Jepangnya sudah cas cis cus sehingga bisa dengan mudah bertanya-tanya ke pegawai restorannya. Akhirnya, kami menemukan restoran yang setidaknya lebih meyakinkan, yaitu di lantai 2, tepatnya di restoran makanan laut. Kami pun segera mengambil tempat duduk dan menu dari pelayan yang ada. Harga makanannya memang cenderung mahal jika dibandingkan dengan makanan di Tsukuba, yaitu sekitar 900 – 1500 yen sebelum pajak. Namun, karena tak ada makanan lain lagi dan sepertinya semuanya juga sudah pada lapar, jadi langsung pilih saja lah ya. Duuh pesan apa ya?
_____ じゃ~決めたぞ!Aku memutuskan untuk membeli kaisendon, semacam rice bowl dengan seafood yang masih segar diatasnya, seperti daging salmon, tuna, kerang, telur ikan, dan sebagainya. Niki dan Kakeru memesan sesuatu yang sama, ciee, yaitu kaisendon juga tapi dengan varian yang lain sedangkan Nanae memesan steak daging. Rasa kaisendon sebenarnya mirip dengan sashimi, hanya saja bonus nasi dan beberapa varian ikan dalam 1 mangkuk. Jadi, ketika aku memakannya, rasa segar dan sedikit asin meleleh di dalam mulut. Rasa menjadi lebih kompleks dan enak ketika aku menambahkan bubuk togarashi (bon cabe lah kalo di Indonesia) dan kecap asin ke dalam makanannya. Setelah mencicipi kaisendon, rasanya kaisendon menjadi makanan Jepang no.1 bagiku, menyalip soba di peringkat 2, udon di peringkat 3, dan sushi di peringkat 4.
_____ Seusai makan, kami membereskan peralatan makan ke tempat yang sudah disediakan lalu membayar dan keluar dari restoran. Kami berjalan menuju Stasiun Ryōgoku karena kereta tujuan kami bisa dicapai dari stasiun yang sama. Nanae kembali ke kosannya di dekat kampus di daerah Tokyo, Niki dan Kakeru menuju stasiun yang ada kereta bandaranya, sedangkan aku menuju stasiun Akihabara. Rasa rasa asin dan segar dari kaisendon masih tersisa di mulutku meskipun aku sudah minum teh hijau hingga beberapa gelas. “Emang deh, mantap abis kaisendon itu” pikirku. Setelah sampai di Stasiun Akihabara, aku harus menyambung dengan kereta lain lagi menuju Stasiun Asakusa karena hotel yang dipesankan pakde berada di daerah Asakusa, tepatnya tidak jauh dari kuil Sensōji. Namun, untuk menghemat biaya (karena hari itu sudah tekor banget keluar uang tiket masuk cat cafe dan kaisendon hehehe), maka aku memutuskan untuk berjalan kaki saja dari Stasiun Akihabara menuju Asakusa. Selain menghemat, ini juga bisa jadi sarana olahraga yang bagus karena udara di Tokyo tidak sedingin dan sekering Tsukuba, terlebih malam itu bahkan hanya 8 derajat.
Niki dan Kakeru menunggu kaisendon (source: personal snapshot)
_____ Saat keluar dari Stasiun Akihabara pada hampir pukul 10 malam, aku mendapati daerah sekeliling stasiun mulai sepi dan gelap, dengan hanya sedikit penerangan dari lampu lampu yang menghiasi jalan. Berdasarkan google maps, aku hanya perlu berjalan hampir 1 jam untuk sampai ke hotel kapsul di Asakusa (menurut mbah gugel). Perjalanan pun dimulai dengan berjalan kaki keluar dari wilayah stasiun, kemudian mengikuti trotoar jalan besar dan berbelok kanan hingga melewati underpass bawah rel kereta. Setelahnya, aku menemukan beberapa pertokoan dan perkantoran yang masih agak terang dengan lampu lampunya. Selain terang, masih terdapat lebih banyak orang yang berlalu lalang sehingga tidak merasa kesepian di kota yang ramai itu. Perjalanan pun kuteruskan dengan jalan, jalan, dan berjalan hingga menyebrangi lampu merah, menyebrangi jembatan penyebrangan, hingga menyebrangi kali kecil. Perjalananku mulai terasa aneh ketika google maps membawaku ke jalan kecil, bukan jalan besar dengan trotoar lebar seperti sebelumnya. Dear google maps, kamu nggak salah nunjukin arah kan?
_____ Jalan-jalan kecil di Tokyo saat itu sangatlah sepi, bahkan mungkin jumlah mobil yang melintas bisa terhitung jari. Meski jalanannya kecil, bagusnya adalah bahwa tidak ada yang memarkir mobilnya sembarangan di jalan kecil. Pemilik mobil memarkirkan mobilnya di lapangan parkir berbayar (langganan per bulan) sehingga jalanan dapat digunakan sebagaimana mestinya untuk melintas, tanpa khawatir terhalang atau berhimpitan dengan mobil lain. Jalanan kecil tampak lebih remang-remang dibandingkan jalan besar, dengan sesekali terdapat lampu dan toko yang masih buka. Aku pun dapat menikmati keheningan malam di Tokyo, berikut pesona gemerlap yang kian berkilauan setelah hujan.
_____ Bagian terseram saat berjalan di jalan kecil dan sepi (terutama di daerah bawah kolong rel jalan layang / kereta api) adalah aku takut bertemu dengan Yakuza, itu loh geng yang terkenal dengan kejahatannya di Jepang (semacam sindikat mafia gitu). Meskipun Tokyo tergolong ke dalam salah satu kota teraman di dunia, tapi tetap saja takut kalau berjalan di tempat gelap dan sepi, apalagi saat itu baru kali ke-2 aku berkeliling Tokyo sehingga masih belum hafal daerahnya. Untunglah, sepanjang perjalanan aku tidak menemukan hal-hal seperti demikian. Sesekali yang kulihat hanyalah para karyawan kantor yang pulang lembur, emak-emak belanja diskon malam, sekelompok pemuda yang habis nongkrong, ataupun sekelompok turis yang berlalu lalang, terutama di sekitar Asakusa. Aku pun tiba dengan selamat di Hotel pada hampir pukul 11 malam. Untungnya, mbak resepsionisnya yang cantik itu masih terjaga dan melayani pengurusan registrasi kamarku dengan baik. Mbaknya sendiri merupakan orang asing (dari namanya sih kayak orang Polandia) yang bisa 6 bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Polandia, dan 3 bahasa dari Eropa lainnya.
_____ Hotelnya saat itu memang cukup sepi, karena hanya ada aku dan mbak resepsionis di lantai 1 yang gelap itu. Setelah registrasi, aku diberikan kunci loker untuk menaruh barangku serta masuk ke dalam kapsul tidur yang ada di lantai 3. Hotel ini memiliki 5 lantai + sebuah rooftop yang dibuka hingga pukul 10 malam untuk melihat pemandangan Tokyo. Lantai pertama berisi aula, ruang tamu, dan resepsionis. Lantai 2 hingga 4 berisi kamar-kamar berukuran kapsul (hanya muat 1 orang, dengan ruang terbatas), dan lantai 5 berisi dapur dan ruang makan. Kata mbak resepsionisnya, pengunjung dipersilahkan untuk masak dan menghangatkan makanan di dapur serta mandi di kamar mandi yang disediakan di tiap lantai (1 lantai ada banyak kamar mandi yang luas) hingga pukul 2 dini hari. Setelah naik ke lantai 3 tempat kapsulku berada, aku langsung menaruh tas, menyiapkan peralatan mandi, dan mengabari pakde bahwa aku sudah sampai di hotel dengan selamat. Pakde kemudian membalas kalau ia senang bahwa aku menggunakan kamar yang dipesannya dan memohon maaf bahwa tidak bisa bertemu esok hari karena sudah harus kembali ke Indonesia.
_____ Setelah berkirim pesan, aku langsung mandi di kamar mandi yang ada di lantai 3 dan aku terkejut, ternyata kamar mandinya hampir sama bagusnya dengan di hotel Toyo Inn Isezaki (baca Fumidasou! 54). Seusai mandi, aku langsung kembali ke kapsul dan berpapasan dengan orang bule yang baru saja tiba di hotel. Sepertinya orang tersebut adalah orang yang menghuni kapsul di atas kapsulku. Sebelum tidur, tak lupa kugembok tas ku pada tali gembok yang ada dan bermain HP dulu. Di dalam kapsul rupanya lengkap dengan berbagai kebutuhan, mulai dari lampu, lampu baca, stop kontak dengan berbagai lubang, kabel USB, loker, meja, dan sebagainya. Itu adalah pertama kalinya aku tidur di hotel sempit namun compact seperti itu. Walaupun sempit, setidaknya masih memungkinkan untuk sholat sambil duduk.
_____ Keesokan paginya, aku bangun tidur dan sholat subuh. Kulihat pemandangan di luar hotel masih sedikit berawan, dengan Tokyo Skytree yang menjulang tinggi menghiasi pemandangan dari balik jendela. Aku pun memanaskan bekal yang kubeli di konbini saat berjalan menuju hotel pada malam sebelumnya di microwave yang tersedia di dapur pada lantai 5. Saat sedang makan bekal, terdapat orang bule yang datang ke lantai 5 dan membuat kopi. Kami pun mengobrol sejenak sambil makan dan minum. Rupanya hotel ini memang cukup sering jadi langganan orang asing yang ingin menginap di Jepang, khususnya Tokyo, dengan budget murah. Setelah makan, aku mencuci kotak bekalku dan kembali ke kamar lalu ke kamar mandi untuk mandi pagi. Aku keluar dari hotel pada pukul 9 pagi karena aku ingin berjalan jalan di Tokyo dan menikmati suasana pagi yang cerah tersebut. Aku memutuskan untuk mencoba berjalan kaki dari hotel menuju stasiun terjauh yang sepertinya masih memungkinkan, yaitu stasiun Kita Senju. Rupanya, berjalan di Tokyo sejauh itu bukanlah masalah karena memang fasilitas trotoarnya cukup nyaman untuk berjalan dan suhu udaranya lebih stabil (tidak panas, tidak terlalu dingin). Aku pun kemudian naik kereta menuju Tsukuba dan berencana bertemu dengan Nisnun dan Mazi, temanku dari Ibaraki University yang kebetulan sedang berkunjung ke Tsukuba untuk bertemu dan sekedar berjalan jalan dan belanja.
Hari itu memang melelahkan, tapi aku mendapat banyak pengalaman bertualang sendirian di kota sebesar Tokyo.
つづく~~>
Leave a Reply