_____ Kabupaten tembok kebenaran, alias Makabe (真壁町) memang menarik karena banyak bangunan klasik ala Jepang. Tak hanya itu, kabupaten tersebut juga memiliki perpustakaan sekaligus musium yang bagus, lengkap, dan nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang seusai kami keluar dari perpustakaan Makabe. Karena masih ada waktu 5 jam sebelum acara perpisahan dengan mahasiswi asal Thailand yang akan kembali ke negaranya keesokan harinya, kami pun plesir terlebih dahulu mengelilingi Kabupaten Makabe. Sepanjang jalan yang kami lewati dengan kayuhan sepeda berjejer rumah-rumah dan pertokoan ala Jepang era 1950 kebawah sehingga bisa ditaksir usia bangunannya mungkin sudah puluhan tahun atau mungkin ada yang sudah menyentuh ratusan. Mulai dari gentengnya, tampak depan, hingga dekorasi, semuanya tampak seperti yang ada di film-film, drama, atau anime Jepang yang yang mengambil latar kota tua.
_____Saat bersepeda, Kento dan Riki tiba tba mengajakku dan Fabio untuk berhenti pada sebuah kuil tua. Kuil tersebut memang sudah terlihat tua, tampak dari model bangunan serta pagarnya. Tak hanya itu, kuburan yang berada di dalam area kuil pun sudah tampak usang, seolah sudah berusia puluhan tahun (dan emang demikian). Kento dan Riki mengajakku dan Fabio untuk masuk dan melihat lihat ke dalam kuil. Sepertinya aku mulai merasa angker gimana gitu karena di sisi kiri dan kanan pintu masuk terdapat kuburan yang jumlahnya tak sedikit. Selain itu, pohon yang sudah tua, tak berdaun, dan tampak angker tersebut pun menambah kengerian saat masuk ke kuil (padahal lagi musim dingin, yaiyalah ga berdaun). Kami pun memarkir sepeda secara paralel di depan kuil dan berjalan masuk ke dalam.
_____ Saat masuk ke dalam, Riki dan Kento tampak ingin mencari semacam marbot kuil atau penjaga yang bertugas di kuil ini. Riki pun masuk ke salah satu rumah yang terletak di depan bagian kiri yang pintunya terbuka, namun di dalamnya hanya ada sebuah patung Buddha. Kento Pun mencari apakah ada orang di balik saung yang ada di sebelah kanan namun sama sekali tak ada orang di dalamnya. Fabio hanya berkeliling dan mengambil gambar saja. Sebenarnya, ada apa sih mereka ini dengan kuil tersebut, apakah mereka ingin berziarah? Ataukah mereka ingin berdoa dan bertemu kepala kuilnya? Karena mereka mendatangi bagian kuil utama, hal yang terbesit dalam benakku adalah bahwa mereka ingin berdoa (kecuali Fabio yang jelas jelas cuma ingin memotret).
_____ Aku pun bertanya kepada mereka berdua karena penasaran mellihat mereka berdua celingukan seperti mencari sesuatu. “Kalian nyari siapa? pak penjaga kuil? mau masuk ke kuil buat berdoa dan ketemu kepala kuilnya?” tanyaku. Fabio tiba tiba menyeletuk ,”lho kukira tadi ngajakin kesini karena pengen berziarah ke makam siapa gitu”. Melihat kami berdua yang bertanya penasaran, Riki pun menjawab, “Oh, enggak kok, nggak berziarah dan nggak berdoa juga. Cuma sekedar pengen lihat lihat aja”. Kento pun kemudian menambahkan, “Kan kita bukan orang sini, jadi nggak mungkin berziarah ke sini kan. Jauh jauh amat nguburnya di Makabe”. Aku dan Fabio pun kemudian merespon, “Lah? Jadi kita ngapain kesini wkwkwk. Yaudah, kalau begitu foto foto dulu aja sebentar habis itu balik”.
“Eh jangan balik dulu. Kita ke es krim beras aja gimana?”
Kento
_____ “Es krim beras……. apa tuh?” tanyaku dan Fabio. “Iya, di arah mau ke Gunung Tsukuba ada sepasang lansia yang membuka kedai es krim yang terbuat dari beras lokal. Katanya enak loh. kesitu yuk!” ajak Kento. Riki pun bertanya, “Eh aku pernah denger tuh. Disitu ya tempatnya, yaudah kita kesana dulu aja apa? masih keburu kok!”. Oke, akhirnya diputuskanlah bahwa kami akan pergi ke kedai tempat es krim beras yang katanya lagi viral itu. Omong-omong soal es krim beras, aku jadi teringat kata-kata Nomura Sensei tentang produksi beras Jepang yang kelebihan saat menaiki kereta pulang dari Tomioka (baca Fumidasou! 56). “Mungkin saja es krim beras adalah upaya dalam rangka memanfaatkan produksi beras yang oversupply di Jepang ya” pikirku sambil mulai mengayuh sepeda meninggalkan kuil tersebut. Karena jam masih menunjukkan pukul 14.41, maka masih ada cukup waktu untuk melipir sebentar ke kedai es krim beras tersebut sebelum kembali ke Ichinoya.
_____ Selama perjalanan, kami menerjang angin musim dingin yang semakin kencang karena mulai menjelang sore. Langit yang semula biru kini mulai sedikit demi sedikit berubah menjadi kuning dan kejinggaan dengan berbalut awan kelabu. Suhu udara pun mulai turun hingga 5 derajat, namun karena kami sedang dalam kondisi “olahraga” alias bergerak aktif, rasa dingin tersebut bisa sedikit diabaikan. Rasanya sudah berapa hektar sawah yang kami lewati, karena perjalanan kami sebagian besar dihiasi dengan sawah yang mengering di sisi kiri dan kanan Rin Rin Road. Kami pulang menyusuri sebagian Rin Rin Road hingga checkpoint gunung Tsukuba (yang ada mesin isi angin dan toilet umumnya itu, seperti pada postingan Fumidasou! 40).
_____ Sesampainya di checkpoint tersebut, kami keluar dari Rin Rin Road menuju jalan datar yang banyak perumahan dan pertokoan (bukan yang arah naik ke atas). Karena Kento yang tahu tempatnya, maka ia pun mengambil alih untuk memimpin di posisi paling depan (padahal emang dari awal kebanyakan Kento sih yang paling depan). Tak lama kemudian, Kento pun berhenti di depan sebuah toko yang tampak tradisional kemudian memarkir sepedanya di lapangan parkir yang ada di depannya. Ia pun mengatakan, “Ini dia gaes tempatnya, Kedai Hōjō Fureai-kan, tempat nenek dan kakek yang jual es krim beras dan jajanan tradisional lainnya”. Hee~ lumayan tua juga ya bangunannya, tapi terawat lho, bukan terbengkalai. Seusai memarkir sepeda, kami masuk ke dalam dengan membuka pintu geser yang ada di depan. Saat masuk, sudah ada nenek (Obaa-san) yang menyapa kami dari meja kasir sembari bersih bersih. Irasshaimase~
_____ Kento pun kemudian berbicara pada nenek penjualnya bahwa ia membawa ketiga orang temannya ikut, termasuk 2 orang asing (aku dan Fabio). Ia juga cerita ke neneknya kalau Fabio itu ada separuh Jepangnya meskipun mukanya tidak tampak Jepang sama sekali dan sang nenek bereaksi sedikit kaget. Seusai basa basi dan mengobrol dengan Kento, kami dipersilahkan untuk duduk di meja di pojok ruangan. Kami kemudian ditanya ingin es krim rasa apa karena neneknya membuat 3 rasa, yaitu original (beras), matcha green tea, dan kinako (kedelai sangrai). Aku memesan rasa matcha, Fabio memesan rasa original, sedangkan Kento dan Riki memesan rasa kinako. Seusai memesan, sang nenek kemudian membawakan taburan bubuk kinako dan sirup gula hitam (黒糖, kokutō) untuk digunakan sebagai topping jika mau.
_____ Suasana bangunannya sangat klasik seperti yang di drama samurai gitu karena selain dinding dan lantai yang terbuat dari kayu, terdapat pula pintu geser serta beberapa perabotan tua yang ada di toko. Tak hanya itu, hiasan model rumah lama juga memberikan kesan tambahan pada tokonya sehingga menambah suasana klasik ketika menyantap es krim disana. Tak lama kemudian, nenek datang membawakan es krim beras dan sendok logam untuk menyantapnya. Saat es krim datang, neneknya bercerita kalau es krim ini dibuat menggunakan beras yang tumbuh di Tsukuba dengan nama varietas “Hōjō (北条)”. Dengan bantuan dari Universitas Tsukuba, beberapa warga seperti nenek tersebut bisa mengolah kelebihan beras menjadi es krim yang memiliki nilai tambah. Setelah itu, neneknya juga membawakan segelas teh hangat untuk menemani kami setelah perjalanan dingin barusan sambil bercerita. Seusai berceritas seputar es krim beras dan tokonya, nenek tersebut kemudian masuk ke bagian dalam toko untuk membiarkan kami berempat mengobrol.
_____ Nah, saatnya memberikan penilaian terhadap es krim berasnya. Menurutku, es krim ini memiliki nilai 7/10. Beberapa kelebihannya antara lain: bahan baku yang digunakan cenderung aman dan ramah muslim (sebagian besar berasal dari nabati dan pengemulsinya pun nabati, kecuali ada tambahan susu segar sebagai bahan utama), rasa dan teksturnya enak, harganya terjangkau (130 yen per cup), neneknya ramah, dan tokonya menunjang eating experience dari es krim itu sendiri. Kekurangannya adalah, tokonya jauh dari pusat kota Tsukuba, es krimnya hanya diproduksi dalam jumlah sedikit, dan suhu penyimpanannya harus super dingin (-18 derajat celcius). Saat kurasakan, teh hijaunya beneran terasa dan ada grenjel grenjel halus dari berasnya di dalam es krim. Setelah merasakan eskrimnya aja, aku kemudian menambahkan sedikit bubuk kinako dan sirup gula hitam. Enaknyaa~~
_____ Seusai makan es krim, kami pun pamit kepada nenek untuk pulang pada pukul 15.40 sore. Kami kembali melewati jalan yang sama seperti saat berangkat, hanya saja kami berpisah saat mencapai perumahan Ichinoyasaka. Aku dan Fabio langsung memacu sepeda ke arah asrama, Kento akan ke tempat temannya, sedangkan Riki pergi menuju lapangan tennis untuk latihan. Sesampainya di asrama, aku langsung membersihkan tempat makanku dan bersiap untuk sholat maghrib. Rasanya waktu berjalan cepat sekali hari itu hingga tak terasa sudah pukul setengah 6 sore. Aku kemudian bersiap siap untuk berangkat menuju tempat perpisahan dengan mahasiswi Thailand. Maka dari itu, kukayuh sepedaku lagi untuk pergi ke restoran New Mira, sebuah restoran India yang terletak di daerah Amakubo 2.
_____ Jadi, restoran New Mira adalah restoran India halal yang level kekuatan rasanya sudah agak disesuaikan dengan lidah orang Jepang. Meski begitu, rasa khas rempah Indianya masih terasa, terutama pada beberapa karinya. Aku sendiri pernah makan di situ 1x sebelumnya, namun karena aku memang bukan tipe orang yang kuat dengan bau-bauan rempah yang kuat, jadi menurutku restorannya bernilai 5/10. Tak hanya bau dan rasa makanannya yang kuat, aku juga merasa bahwa dompet juga harus kuat saat akan makan disana karena rata rata seporsi karinya dihargai sekitar 800 yen – 1300 yen (sudah termasuk nasi atau roti naan hingga 3x tambah). Secara porsi, tergolong worth it sih, namun karena akunya aja yang emang tidak terlalu suka makanan beraroma kuat, jadi menurutku kurang cocok aja di lidahku. Menu yang paling enak adalah mango lassi, semacam yogurt khas india dengan sari puree mangga yang asam asam segear. Meski yang enak hanya makanan penutup dan makanan utamanya cenderung B aja, demi perpisahan dengan Nana dan Gaew, apa sih yang enggak? hihihi
_____ Dinginnya malam itu tak menyurutkanku dan teman teman untuk pergi. Saat berangkat, aku bertemu dengan Enzo yang baru saja akan berangkat menuju New Mira sehingga kita berangkat ke sana bersama-sama. Suhu udara sudah menyentuh 1 derajat, hampir menyentuh titik beku. Memegang stang sepedapun rasanya sudah gemetaran setelah berlama-lama terpapar dingin. Kami pun tiba di New Mira duluan sebelum yang lain yang katanya mau naik bis saja. Orang selanjutnya yang datang adalah Kento dengan sepedanya, disusul Kohei, Keisei (mahasiswa Jepang asal Tsukuba yang baru saja kembali dari Thailand) dan Pete (mahasiswa full time asal Thailand) yang baru saja dari gym. Kami menunggu di luar karena tak enak kalau masuk duluan sebelum yang lain, atau setidaknya sebelum sebagian besar datang. Setelah menunggu 10 menit di luar diterpa angin dingin, yang lain pun akhirnya tiba juga. Kami semua kemudian masuk ke dalam dan memesan tempat serta menu dari kasir. Setelahnya, kami menata meja dan duduk sambil menunggu Nana dan Gaew yang akan dibawa oleh Fedi.
_____ Yeay, tibalah pukul 19.20, bergeser 20 menit dari waktu yang dijanjikan. Nana dan Fedi pun akhirnya datang, namun Gaew tidak bisa datang karena tak enak badan. Jadi, perpisahan kali ini hanya Nana saja yang datang. Untungnya ada Pete yang bisa mewakili Gaew yang sesama orang Thailand. Kami pun mempersilahkan Nana untuk memulai acara perpisahan dan memesan menu duluan. Selang sekitar 10 menit, 1 per satu makanan dan minuman sudah terhidangkan di atas meja. Rasanya separuh dari New Mira ini sudah terpakai oleh kelompok kami sendiri sehingga suara drama india yang ada di TV restoranpun bisa diabaikan. Aku sendiri memesan shrimp with (nama daerahnya aku lupa) cheese curry.
Foto sesudah makan (source: personal gallery)
Foto acak seusai makan (source: personal snapshot)
_____ Aaahh, akhirnya kenyang juga setelah makan karinya dan 2 roti naan (aku mengambil 3, 2 kumakan di tempat dan 1 dibawa pulang). Nana pun merasa sangat senang karena teman-temannya bersedia menemaninya hingga hari terakhir di Tsukuba karena besok paginya ia dan Gaew akan berangkat menuju bandara sehingga tak mungkin perpisahan saat pagi. Seusai makan, kami berfoto ria, membereskan alat makan, dan membayar makanannya. Kami pun berjalan bersama menuju asrama, dan yang memakai sepeda pun berjalan menuntun sepedanya. Hari itu rasanya sudah lelah sekali dengan banyak berjalan di tengah udara dingin, tapi setidaknya hari itu bermula dan berakhir dengan baik (baca: kenyang).
Yang penasaran seperti apa sensasi makan es krim beras bisa melihat tautan berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=GWEJ1XSvwxA\
Alamat kedai es-krim beras: Hōjō Fureai-kan (北条ふれあい館(旧田村呉服店)〒300-4231 茨城県つくば市北条39 ),
Website seputar es krim bera, kuliner, dan wisata di Tsukuba:
http://www.tsukuba-hojo.jp/05special_food/index.html#mai_cecream
つづく~~>
Leave a Reply