_____ Huaaah, makin mendekati tahun baru kampus bukannya lebih longgar malah lebih sibuk ternyata karena banyaknya tugas akhir yang harus diselesaikan kalau mata kuliah yang kita ambil tidak mengadakan UAS. Tugas akhir tersulit adalah tugas dari mata kuliah seputar evolusi yang diajar Mr. Irving karena harus membuat essay dengan topik yang lumayan sensitif dan kontroversial sedangkan untuk tugas akhir termudah adalah tugas dari mata kuliah “Japan & the World” yaitu membuat semacam karya tulis seputar Jepang dan interaksinya dengan negara lain atau peranannya secara global pasca perang dunia 2 (panjang sih, tapi lebih enak nyari materinya). Tapi karena dikumpulkan habis tahun baru, dan saat itu masih hari natal, jadi santai saja lah, wkwk.
“Dasar kaum rebahan~”
_____ Hari natal adalah salah satu hari yang ditunggu-tunggu oleh orang Jepang. Bukan, bukan karena mayoritas masyarakat Jepang beragama kristiani, melainkan karena suasana kemeriahannya. Ya, Natal dan Halloween di Jepang bukan dimaknai dalam rangka peringatan religi, tetapi lebih ke perayaan musiman (dan event untuk meningkatkan penjualan tentunya bagi sebagian bisnis). Kenapa demikian? Karena Natal identik dengan lampu-lampu hias, sinterklas, rusa kutub, kado, dan semacamnya sehingga dijadian momen untuk berpesta-pora atau bermesraan, bukan pergi ke gereja (kecuali yg kristiani sih ya ke gereja) ataupun bercengkrama dengan keluarga. Penduduk Jepang sendiri kebanyakan mungkin lebih ke arah agnostik sejauh yang aku temukan, karena lahirnya bisa ala shinto, menikah bisa ala kristen di gereja, sedangkan meninggalnya bisa ala buddha. Natal sendiri di Jepang bukan hari libur nasional seperti di Indonesia, tetapi masuk seperti biasa, WHAT!!!. Libur akhir tahun bukan bermula di hari natal melainkan di hari setelahnya, yaitu 26 Desember karena hari itu adalah hari ulang tahun kaisar. Anyway, aside from religious matter, momen Natal ini sendiri juga menghadirkan wahana baru yang menarik dan bisa menghiasi musim dingin yang gersang ini, yaitu ILLMUNIATION. bukan ILLUMINATI ya!!!
_____ Siang itu di grup LINE AIMS Fall 2018 sedang ramai perbincangan mengenai perayaan natal. “Natal nanti kumpul yuk gaes, makan makan aja gitu!” ajak Kohei. 1 per 1 orang pun merespon positif terhadap ajakan Kohei. Masalah tempat makannya masih belum ditentukan, apakah di restoran Jepang, restoran ala barat, atau di tempat lainnya. Aku pun mengusulkan makan di restoran sushi saja karena semuanya bisa ikut tanpa khawatir kenapa-napa. Saranku pun diterima, tapi masalahnya, di restoran sushi manakah tujuan kita? hmm… Setelah voting antara restoran sushi Hamazushi, Sushiro-, Genki sushi, atau tempat lainnya, akhirnya Hamazushi lah yang keluar sebagai pemenang voting. Kami pun memutuskan untuk berkumpul di restoran Hamazushi pada tanggal 25 Desember 2018 pada pukul 19.00.
_____ Kenapa kami memilih Hamazushi sebagai tempat kumpul, ya alasan utamanya adalah jenis makanannya yang cenderung seafood sehingga aman bagi kami yang muslim ataupun buddha. Selain itu, harganya juga pas di kantong mahasiswa, rata rata yaitu 90 yen per piring pada hari biasa dan 100 yen per piring pada akhir pekan (berlaku untuk sushi biasa saja, 1 piring isi 2, harga belum termasuk pajak 8%). Selain sushi, Hamazushi juga menyediakan menu lain seperti chawan mushi (atau telur kukus dengan seafood), mille crepe dan chocolate cake untuk kudapannya, dan tersedia teh hijau gratis sepuasnya (menu bisa dilihat di: https://www.hamazushi.com/menu/). Aku sendiri pernah ke restoran tersebut 3x sebelumnya baik sendirian maupun bersama dengan Pak Supri dan menurutku nilainya bintang 7.5/10 lah ya. Jaraknya juga tergolong dekat (di daerah Onozaki, mau ke arah Gyōmu Supa-) jika dibandingkan dengan sushiro- yang lebih dekat dengan tempat aubaito ku di daerah Gakuen no Mori. Selain itu, terdapat pula robot resepsionis yang berjaga di depan untuk melayani pesanan, baik itu mau makan di tempat atau bungkus, hingga berapa orang yang datang, mau duduk dimana, dan sebagainya, sebagaimana yang dilansir pada tautan :https://mainichi.jp/english/articles/20170311/p2a/00m/0na/005000c

_____ Malam itu, seusai sholat isya, aku berangkat memacu sepedaku menuju restoran yang dimaksud. Aku mengayuh sepeda dengan sambung-menyambung jembatan yang terbentang menuju Tsukuba Center, kemudian menuruni Tsukuba Center ke arah barat. Setelah itu, karena tidak ada jembatan sambung lagi, maka aku harus mengayuh di trotoar. Kalau sudah menemukan Hotel Grand Shinonome (グランド東雲), hotel yang bentuknya ala rumah Jepang besar, kita hanya tinggal lurus saja mengikuti trotoar. Hamazushi terletak di sebelah kanan jalan dari arah datangnya kita dari hotel Grand Shinonome. Di sebelah restorannya terdapat Coco’s (bukan Coco Ichibanya) dan McD. Sesampainya aku disana, aku langsung memarkir sepedaku dan menguncinya lalu masuk ke dalam.
_____ Saat memasuki pintu geser, aku bertemu Riki dan Taisei yang sudah datang duluan karena baru saja pulang dari latihan tennis. Karena masih ber-3, jadi kami duduk dulu di bangku pengunjung dan belum bisa pesan tempat melalui mas robot yang berjaga di depan. Selang 10 menit kemudian, barulah kaum-kaum pesepeda seperti Kento, Reen, dan Kohei datang. Setelahnya baru disusul dengan kaum pemakai bis datang. Setelah sebagian besar telah berkumpul, kami baru memesan meja melalui robot yang ada di bagian depan. Untunglah, kami mendapat meja yang berdempetan sehingga masih bisa berinteraksi. 1 mejanya diisi maksimal 6 orang (ada sepasang bangku panjang yang muat untuk 3 orang per meja).
_____ Setelah mendapat meja, barulah kami memesan makanan melalui layar tab yang tersedia di samping meja (di dekat conveyor belt). Aku sebangku dengan cowok-cowok lainnya seperti Enzo, Mizan, Riki, Kento, dan Taisei. Karena isinya cowok-cowok semua, jadi nggak heran kalau pesanannya banyak, apalagi Riki dan Taisei yang baru aja latihan tennis. 1 per satu makanan datang melalui conveyor belt ke meja masing-masing. Aku sudah meniatkan dari awal kalau aku tidak akan menghabiskan lebih dari 1000 yen untuk makan sushi, jadi aku memesan 6 sushi nigiri mentah[salmon, tuna bagian akami (yang rendah lemak), tsubugai (whelk), kerang hotate, saba, dan gurita], 1 sushi nigiri tamagoyaki, serta 1 mille crepe. Oh iya untuk harganya sendiri sebenarnya bisa dilihat juga dari warna piringnya yang nanti akan dihitung oleh petugas saat akan melakukan pembayaran. Cuma 6 doang? dikit amat! . Ya, untuk porsi makanku memang tergolong sedikit jika dibandingkan dengan cowok-cowok lain yang bisa sampai 10 piring bahkan 12 piring. Tapi aku makan sedikit bukan karena masalah kenyangnya, tapi karena masalah “pinke pinke“.
_____ Kami makan di restoran tersebut hingga pukul 9 malam, diakhiri dengan foto bersama. Setelah berfoto, kami kembali ke tempat tinggal masing masing. Nah…. karena hanya sedikit kaum sepedanya dan pada melewati rute yang sama, maka kami bersepakat untuk pulang bareng. Saat melewati alun-alun Tsukuba Center, kami mendapati wilayah tersebut sudah sepi dari lalu lalang orang berjalan. Aku pun mengajak ketiga orang lainnya untuk berhenti sejenak dan berfoto di tengan illumination yang ada di Tsukuba Center ini. Aku menggantung gorilla arm kameraku di sepeda dan mengatur timer untuk berfoto. Namun, sayangnya hembusan angin yang cukup kencang membuat gorilla arm ku berputar dari stang sepeda sehingga hasil fotonya miring. “Sekali lagi gaes, miring nih” kataku. Kami pun berfoto kembali dan melakukan take-take selanjutnya. Untunglah, hasil fotonya cukup memuaskan. Setelahnya barulah kami kembali ke tempat masing masing, mulai dari Kento yang memarkir sepedanya di Tsukuba Center dan naik kereta untuk kembali ke Kota Urayasu yang ada di Prefektur Chiba (dia PP kampus kalo nggak bawa mobil), Taisei di kosannya, serta aku dan Reen di asrama Ichinoya. Aaah enaknya sushi hari ini…… Jadi gampang tidur nih buat persiapan keesokan harinya jalan jalan mumpung libur hari ulang tahun kaisar, hehehe~
_____ Nah, kenapa sih sebegitu senangnya dengan illumination, kan hanya lampu lampu hias gitu aja? Jadi tuh, di Jepang, terutama saat musim dingin tiba, karena hanya sedikit tumbuhan yang bisa tumbuh dan menghiasi kota maka dibuatlah illumination untuk menyegarkan suasana perkotaan yang gersang akibat musim dingin (di musim lain juga kadang ada, cuma lebih vibrant aja yang musim dingin). Bentuk illumination nya sendiri bisa macam macam, ada yang dengan lampu-lampu LED yang dililit/digantung, ada yang pakai neon, ada juga yang secara digital tergantung dari kota tempat kita tinggal. Biasanya, semakin besar kotanya dan semakin ramai penduduknya, maka illumniation nya akan semakin meriah. Entah kenapa aku merasa bahwa illumination di Jepang ini lebih kreatif dan artistik dari segi bentuk, warna, maupun pengaplikasiannya. Emang sih, mungkin kesannya biasa aja kalau dilihat dari foto, tapi kalau para pembaca datang langsung ke Jepang, terutama ke kota besar seperti Tokyo atau Osaka pasti akan takjub sendiri dengan permainan lampu-lampu ini.


つづく~~>
Leave a Reply