Fumidasou! 55 – Desa Sutra

_____ Pada pagi harinya aku bersiap siap seperti biasa dan segera berangkat menuju lantai bawah untuk sarapan. Kali ini kami punya waktu sampai pukul 8 pagi sehingga bisa agak nyantai. Aku bisa mengecas HP ku agar baterainya penuh agar bisa digunakan untuk mendokumentasikan kegiatas nantinya tanpa takut drama lobet lobetan. Ternyata matahari pagi di Kota Isezaki bagus juga, apalagi dilihat dari lantai 20 kamar hotel. Sebelum turun ke bawah, aku mengganti piyama yang disediakan hotel dengan baju heattech uniqlo ku dan celana panjang terlebih dahulu. Seusai berganti pakaian, aku langsung menekan tombol lantai dasar pada lift agar segera sampai. Sarapan kali ini dibuka pada pukul 06.30 pagi sehingga tampaknya akan lebih ramai dari hotel sebelumnya.

Selamat pagi dari Kota Isezaki (source: personal snapshot)

_____ Sesampainya aku di ruang makan, aku tersadar bahwa ternyata untuk sarapan kali ini, menunya lebih beragam dan sepertinya lebih enak…Apakah bisa dibungkus,… Aku pun mengajak Shauna yang sudah datang terlebih dahulu untuk membungkus makanannya setelah sarapan dan ia pun mengangguk. SIIP!!!. Mula mula aku memilih makanan untuk sarapan berupa nasi, side dish berupa : (tamagoyaki, ikan saba (makarel) panggang, ayam yakiniku, dll), sup miso, salad coleslaw, onigiri, teh, kopi, roti, hingga susu dan jus jeruk yang tak tertulis di menu pajangan. Tak lupa taburan furikake ikan katsuo (cakalang) juga kuambil untuk memeriahkan nasi. Makanan kali ini tampaknya lebih sederhana, namun entah kenapa lebih familiar di lidah walaupun tidak seenak yang kemarin. Aku juga mengambil minuman berupa susu yang terletak di dispenser. Rasanya untuk sarapan saja sudah kenyang sekali.

_____ Saatnya looting! Aku kembali ke meja prasmanan dan mengambil beberapa roti isi selai blueberry dan stroberi, serta nasi dan tamagoyaki. Aku mengambil yang kering-kering saja agar awet disimpan lama dan tidak tumpah di dalam tas. Shauna pun ikut mengambil setelahku dan memasukkannya ke dalam kotak bekal yang disimpan di bawah meja. Maklum, namanya juga anak negara berflower, ada aja ide cerdiknya untuk bertahan hidup wkwkwk. Setelah menyimpan makanan, aku dan Shauna kembali ke kamar masing masing untuk beres beres dan mandi pagi. Seusai mandi pagi, aku merapikan semua barangku di dalam tas dan mengisi kuesioner yang sudah tersedia di atas meja. Tent saja kuisi rata kanan alias bintang 5 karena pelayanan hotelnya sangat baik, mulai dari kebersihan kamar, kelengkapan isi, hingga makanannya yang muantap abiz. Setelah mengisi, aku turun ke lobi dan menunggu yang lain disana. Sensei pun datang setelahnya, disusul dengan anak anak Brunei. Setelah semua berkumpul, kami semua berjalan kembali ke Stasiun Isezaki untuk naik kereta menuju Takasaki (高崎), kota terbesar di Prefektur Gunma (meskipun ibukotanya adalah Maebashi).

Suasana peron seberang di Stasiun Isezaki (source: personal snapshot)
Kertanya mau sampai (source: personal snapshot)

_____ Kereta dari Isezaki menuju Takasaki berangkat dari pukul 08.55 dan tiba di Takasaki pada pukul 09.27. Suasana di dalam kereta cukup ramai dengan orang-orang kantor yang berangkat menuju Takasaki. Kereta datang di peron nomor 2, di rel yang terletak di lantai 3 stasiun. Dari Stasiun Isezaki, kami perlu melewati 7 stasiun lagi hingga mencapai stasiun Takasaki, yaitu stasiun Komagata, Maebashi-Ooshima, Maebashi, Shin Maebashi, Takasaki Tonyamachi, dan berakhir di Takasaki. Karena Takasaki adalah kota besar, dengan stasiun yang besar pula, maka kami harus berhati hati agar tidak tersasar ketika kami tiba disana.

_____ Setelah sampai di Stasiun Takasaki, kami punya waktu sekitar setengah jam untuk beristirahat sebelum kami harus stand by di peron khusus kereta menuju Tomioka. Kami pun berjalan jalan ke teras stasiun besar tersebut dan memang benar adanya, Takasaki ini adalah kota yang ramai, setidaknya lebih ramai dari kota sebelumnya dan lebih ramai dari Mito. Di depan stasiun terdapat teras yang luas sekali hingga terhubung ke jalan raya di seberang dan pool taxi. Tak hanya itu, di bawah teras pun terdapat terminal bis layaknya Stasiun Mito atau Tsuchiura. Aku dan Shauna menyempatkan diri untuk foto foto berhubung cuaca sedang berawan sebagian, jadi masih mendapat paparan sinar matahari.

Shauna di Stasiun Takasaki (source: personal snapshot)

Stasiun Takasaki dan terasnya (source: personal snapshot)

Lukisan di keramik sebagai penanda menuju peron kereta Takasaki-Tomioka (source: personal snapshot)

_____ Usai berfoto, kami berjalan menuju peron khusus yang terletak di lantai dasar. Saat turun, kami berpapasan dengan Nomura Sensei di tangga. Sesampainya di peron khusus, Sensei langsung membayar tiket keretanya dan petugas stasiun mengizinkan kami naik. Kereta dijadwalkan berangkat pada pukul 10.16 sehingga masih ada sekitar 10 menit bagi kami untuk duduk menunggu di dalam kereta hingga berangkat. Kereta ini tampak seperti kereta jadul, baik tampak luar maupun tampak dalamnya sehingga terasa seperti di anime tahun 60-70 an. Keretanya pun hanya terdiri dari 2 gerbong karena memang tidak memuat banyak penumpang menuju daerah pedesaan. Di dalam, pak kondektur memeriksa karcis kami dan melubanginya dengan pembolong V. Benar benar tampak seperti kereta zaman dahulu ya~

Kereta khusus dari Takasaki ke Tomioka
Tiket menuju stasiun Tomioka (source: personal snapshot)

_____ Selama perjalanan, kami hanya melihat hutan dan gunung, sesekali juga terdapat perkampungan rumah warga. Sepanjang perjalanan, kami hanya berhenti di sedikit stasiun. Meski demikian, perjalanan terasa panjang karena pemandangannya cukup membosankan mengingat tidak ada salju dan pohon pohon sudah gersang. Perjalanan berlangsung hampir selama 40 menit dan kami tiba di Kota Tomioka (富岡) pada pukul 10.54. Stasiun Tomioka ini hanya memiliki separuh dinding yang terbuat dari bata kuning sehingga memiliki nuansa klasik gitu. Eits, tapi jangan salah, karena ruang tunggu stasiun ini sangat modern dan nyaman layaknya ruang tunggu di Global Village Tsukuba.

_____ Setelah menginjakkan kaki ke Kota Tomioka, dengan dipandu Sensei, kami berjalan mengikuti beliau menuju pusat Informasi yang ada di tengah kota. Kota ini tampaknya kota kecil, bahkan lebih kecil dari Tsukuba, terlihat dari bentuk bangunannya yang hanya 1-2 lantai dan tidak ada gedung sama sekali, termasuk keramaian jalan. Jalanan benar benar sepi sekali sehingga kami berjalan di tengah pun aman. Kota ini tampak seperti kota-kota kecil di anime Detective Conan (atau anime lain juga boleh) karena bangunannya yang terkesan minimalis. Karena kota ini begitu sepi, maka tidak ada yang namanya trotoar lebar untuk pesepeda dan pejalan kaki, semuanya menyatu di jalan dan pinggirnya saja. Sangat kontras dengan Kota Takasaki yang ramai dan sibuk.

Pemandangan Kota Tomioka, mulai dari stasiun hingga ke jalan menuju pusat informasi (source: personal snapshot)

_____ Sesampainya di pusat informasi, mbak petugasnya memberitahu bahwa pabrik benang sutranya hanya tinggal lurus dan belok kanan saja, lalu jalan terus saja mengikuti machinami (街並み) atau pertokoan hingga sampai pada bangunan dengan bata cokelat. Sesampainya kami ke bangunan yang dimaksud, petugas pabriknya memberitahu kami bahwa jadwal kunjungan untuk rombongan kami adalah pada pukul 13.00 – 15.00 dan saat itu masih pukul 11.10, masih ada lebih dari 1 setengah jam lagi. Oleh karena itu, Sensei meminta kami untuk mencari makan yang ada di dekat pabrik ataupun mencari oleh-oleh terlebih dahulu sambil menunggu giliran kami. Sensei meminta kami untuk bersiap di depan pabrik pada pukul 12.45. Setelahnya, sensei masuk ke dalam pabrik bersama petugas dan kami pun bubar jalan. Yok, waktunya makan dulu aja gaes!

Sabun dari kepompong sutra (source: Rae’s gallery)
Menanti jam buka (source: Enzo’s gallery)
Saung di tengah pertokoan dalam kota (source: personal snapshot)
Enzo yang bingung mau makan apa (source: personal snapshot)
Saking sepinya jalan hingga bebas foto di tengah (source: personal snapshot)

_____ Pertama tama, perhatian kami tertuju pada penjual yang memainkan busa berlimpah yang ada di depan pabrik. Rupanya, penjual tersebut menjual sabun yang terbuat dari bahan dasar kepompong ulat sutra yang lembut banget, dan ya, sabunnya memang beneran lembut banget di tangan. Fedi dan Reen tampaknya tertarik untuk membeli paketan seharga 2000 yen sebanyak 5 batang, sedangkan kalau beli per bijinya akan memakan biaya sebesar 500 yen. Ho ho ho, penjualnya benar juga ya, menarik perhatian wanita untuk beli sabun ginian karena selanjutnya, Rae dan Nurul juga tampak ingin membelinya. Setelah bermain main dengan busa lembut, kami pun berpisah. Aku dan Mizan pergi ke pusat informasi untuk sholat zuhur yang dijamak dengan ashar dahulu, baru mencari makan. Enzo dan Kohei ikut dengan kami agar bisa makan bareng setelah sholat. Siip deh, tunggu bentar ya kalian~

_____ Setelah berputar-putar mencari tempat makan, akhirnya kami membeli semacam dorayaki saja yang ada di dekat pabrik sutra. Sambil makan, kami pun mengobrol ngobrol tentang field trip ini plus beberapa obrolan ala cowok. Seusai makan, jam masih menunjukkan pukul 12.30, tapi kami ber-4 memutuskan untuk berkumpul saja dulu di depan gerbang pabriknya sesuai arahan sensei. Saat kami datang, sensei belum datang juga sehingga pertanda baik-baik saja. Orang yang datang kemudian adalah anak-anak Filipina seperti Shauna, Camille, Bosh, dan Aien. 1 per 1, yang lian pun akhirnya tiba sebelum sensei datang. Saat pukul 12.45, akhirnya hadir di depan gerbang bersama bapak pemandu wisata pabrik benang sutra Kota Tomioka (富岡製糸場, Tomioka Seishijō). Pertama-tama, bapak pemandu menjelaskan sejarah pabrik ini dan kenapa didirikan di Tomioka.

Pabrik dan musium benang sutra Tomioka (source: Nanaris’ gallery)
Peta pabrik sutra Tomioka (source: Nanaris’ gallery)
Denah bangunan (source: personal snapshot)

_____ Sambil berjalan, bapak tersebut menjelaskan kalau pabrik ini sudah didirikan dari zaman restorasi Meiji, tepatnya pada tahun 1872. Saat itu, ekspor utama Jepang didominasi oleh sutra, hingga suatu saat mencapai 86% dari total ekspor Jepang pada masa itu karena tingginya permintaan dari luar negeri, terutama Eropa dan Amerika. Karena itu, pabrik ini berkembang sangat pesat hingga pada masa kejayaannya, pabrik ini memiliki 300 mesin pemintal, jauh diatas rata rata jawara sutra dunia seperti Italia dan Perancis yang hanya memiliki sekitar 150 pemintal. Karena itulah pabrik ini banyak menyerap tenaga kerja dari warga setempat, terutama wanita. Makanya Tomioka memiliki icon berupa wanita pemintal benang. Karena banjir permintaan dari dalam maupun luar negeri, pabrik ini sampai mendatangkan teknologi canggih dari luar negeri, mulai dari permesinan hingga arsitekturnya. Tokoh yang dikenal disini adalah Mr. Brunat dari Perancis sebagai pelopor berkembangnya industri benang sutra di Tomioka, hingga memiliki rumah di sebelah industrinya. Makanya, tak heran kalau pabrik ini banyak memiliki bangunan yang bergaya Perancis sekali, nggak ada Jepang Jepangnya.

_____ Namun semuanya berubah ketika negara api menyerang, yaitu pada perang dunia ke-2. Karena Jepang kalah perang, permintaan sutra baik dalam negeri maupun luar negeri mendadak amblas serta banyaknya krisis pangan dalam negeri menyebabkan ekonomi diarahkan ke sektor yang lebih vital seperti pangan dan kesehatan. Selain itu, setelah perang dunia ke-2, serat sintetis yang ongkos produksinya lebih murah pun banyak bermunculan sehingga menggempur pabrik ini dengan keras. Pabrik ini pun hanya bisa membuat pakaian sutra untuk keperluan khusus, seperti kimono yang peminatnya pun tidak banyak karena mode fashion terus berubah dan kimono hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Akhirnya, pabrik ini menghembuskan untaian sutra terakhir pada tahun 1987 dan ditutup. Pabrik ini baru mulai diurus status cagar budayanya sejak tahun 2005 dan berlanjut hingga sekarang mendapatkan status cagar budaya dari UNESCO.

Bekas pabrik benang sutra Tomioka dan rumah Mr. Brunat yang masih terawat dengan baik (source: personal snapshot)

Gaew semangat banget belajar tentang sutra (source: personal snapshot)

_____ Setelah menjelaskan panjang lebar sambil berjalan, pak pemandu membawa kita ke sebuah bangunan bekas pabrik pada zaman dahulu yang masih terawat dengan baik. Pak pemandu menjelaskan kalau dulu banyak sekali wanita yang bekerja disini untuk memintal benang sutra. Ia juga menjelaskan kenapa Tomioka dipilih sebagai sentra penghasil sutra saat itu. Alasannya adalah Tomioka merupakan daerah pegunungan yang subur sehingga suhunya lebih sejuk dan banyak tanaman yang bisa dikonsumsi ulat sutra agar menghasilkan sutra terbaik. Alasan lainnya adalah karena masih dekat dengan pelabuhan Yokohama sehingga memudahka untuk tujuan ekspor. (perasaan jauh deh sampe mendaki gunung lewati lembah). Pak pemandu kemudian menjelaskan mekanisme kerja alat pemintal tersebut, mulai dari kepompong, hingga menjadi untaian sutra.

_____ Beralih dari bangunan lama ke bangunan baru, pak pemandu menjelaskan kalau alat di bawah adalah alat pemintal sutra terbesar yang dimiliki oleh pabrik. Alat pemintal tersebut merupakan tipe termutakhir yang dimiliki pabrik pada masa kejayaannya. Karena alat tersebut masih bisa aktif hingga saat ini, makanya alat tersebut diletakkan terpisah agar bisa dipertunjukkan. Saking besarnya, alat ini bahkan bisa memakan ukuran hingga lebih dari 4 kamar mahasiswa Ichinoya. Karena saking besarnya, aku perlu memutar untuk melihat keseluruhannya. Kemudian arah kami berganti ke bangunan yang berisi ruang pameran. Disana terdapat mesin pintal yang lebih kecil dan beberapa karya pintalan sutra baik dari zaman dahulu hingga zaman now.

Mesin pintal terbesar yang masih aktif (source: my gallery & Nanaris’)

Messin pintal klasik (source: Nanaris’ gallery)

_____ Di ruang ini, juga terdapat pertunjukan memintal benang sutra dari nenek-nenek setempat (mungkin mantan karyawan pabrik kah?). Meski sudah berusia lanjut, nenek ini masih sangat fit untuk memintal untaian benang menjadi kain. Di sisi lainnya, terdapat nenek yang sedang merebus kepompong ulat sutra agar sutranya lebih lunak untuk dipintal. Selain menjadi cikal bakal benang, kepompong ulat sutra ini juga bisa diolah menjadi beberapa jenis makanan yang menyehatkan lho (selain sabun-sabun tadi tentunya). Dan yang tak kalah menarik, baru baru ini juga ada es krim dari kepompong sutra. Sepertinya sangat menarik untuk dicoba ya!

Potret wanita pemintal benang pada zaman dahulu (source: Nanaris’ gallery)
Kepompong rebus untuk pembuatan sutra (source: personal gallery)
Nenek pemintal kain sutra (source: Nanaris’ gallery)

_____ Seusai mengunjungi ruang pameran, kami selanjutnya diberikan kelonggaran waktu untuk bebas berkeliling pabrik oleh Sensei karena jam masih menunjukkan pukul 14.00. Kami pun berpencar untuk mencari hal hal yang menarik lainnya, ataupun sekedar melepas lelah dan bersantai. Karena selama berkeliling tadi aku banyak mengobrol dengan Gaew yang sesama anak pertanian (doi jurusan ilmu agronomi soalnya, jadi sedikit banyak mengerti tentang perulatan ini), maka aku dan Gaew pun berkeliling bersama. Seperti apa petualanganku dengan Gaew di pabrik ini? Selain itu, apa yang akan kami semua lakukan setelah dari pabrik ini? Nantikan di postingan selanjutnya ya!

Nenek pemintal benang (source: Rae’s gallery)

*Beberapa dari foto dalam slideshow diatas merupakan dokumentasi milik anak AIMS Fall 2018

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: