Fumidasou! 54 – Mau Sake?

_____ Setelah puas berkeliling kuil legendaris dan mempelajari sedikit sejarah Jepang, kami beristirahat di Stasiun Tōbu Nikkō sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya. Sensei memberi kami waktu istriahat dari pukul 12 siang hingga pukul 1 siang karena kereta menuju tempat selanjutnya berangkat pukul 13.08. Setelah sampai di stasiun tersebut, kami pun menyebar sambil mencari makanan. Aku dan Mizan tetap bersama agar mudah mencari makanan yang sekiranya aman untuk muslim. Di dalam dan depan stasiun banyak sekali pertokoan dan restoran yang bisa dikunjungi, tapi apakah semuanya aman?

Stasiun Tōbu Nikkō tampak depan (source: personal snapshot)

“Ketika berada di tempat yang jauh dari akses makanan bersertifikat halal seperti di Tsukuba, mungkin kami akan menggunakan rukhsah sedikit”

Mizan & Aku

_____ Karena Mizan tidak membawa bekal sepertiku dan bekalku juga tak cukup jika dibagi 2 (karena Mizan makannya banyak, kan atlet badminton), maka aku menyimpan bekalku untuk makan malam dan ikut makan bersama Mizan. Di depan stasiun, ada restoran udon yang kelihatannya enak, murah, dan aman karena menggunakan kaldu dashi dari ikan yang direbus lama beserta konbu (rumput laut kering). Saat masuk, ternyata ada Kohei dan Rae yang sedang melihat lihat menu di dalam restoran. “Yang lain kemana, Kohei, Rae?” tanyaku dan Mizan pada mereka. “Hmm… gatau. Ke restoran yang lainnya kayaknya. Tadi katanya nemu yang makanan ala barat gitu” kata Rae. “Yaudah makan bareng kita aja, cari meja yang ber 4. Disini kayaknya aman buat kalian soalnya serba seafood” timpal Kohei. Ya, karena kami sedang berwisata ke tempat yang jauh dan makanan halal belum tersedia, kami pun bisa menurunkan standar ke makan yang sekiranya aman (memiliki risiko keharaman lebih rendah) seperti makanan seafood, vegetarian, ataupun telur-teluran. Aku, Miza, dan Rae kemudian mencari meja untuk 4 orang sementara Kohei memesan pesanan untuk kami semua setelah kami beritahu kami pesan apa. Kami akhirnya menemukan meja untuk 4 orang yang tersedia di lantai 2 restoran. Setelahnya, Kohei pun menuju lantai 2 restoran dan mengobrol bersama kami sambil menunggu makanannya tiba.

_____ Akhirnya udon yang ditunggu-tunggu sudah datang. Kami semua memesan udon dengan topping yang berbeda, dimana Kohei memakai tempura udang, Rae memakai tempura sayur, aku memakai kitsune (tahu goreng tipis), dan Mizan memakai telur. Per porsi dihargai sekitar 600 yen, lumayan mahal sih mengingat ini tempat wisata, tapi sebanding dengan rasanya yang lumayan enak. Seusai makan, kami masih memiliki waktu setengah jam sebelum pukul 13.00. Aku dan Mizan berencana mencari tempat sholat, namun Kohei mengatakan, “kalau mau sholat di stasiun tanya dulu aja sama petugasnya. Siapa tau diizinkan pakai ruang kosong atau ruang informasi.” Aku dan Mizan kemudian berjalan menuju stasiun yang tinggal nyebrang doang, dan menanyakan ke petgas di pusat informasi terkait izin untuk sholat di stasiun. Bukannya memberikan izin, mbak petugas informasinya justru malah memanggil pak satpam. Waduh, kami mau diapakan?

Lambang ruang sholat di Stasiun Tōbu Nikkō (source: personal snapshot)
Musholla stasiun & tempat wudhu (source: personal snapshot)

_____ Eits, tapi jangan berburuk sangka dulu. Jadi, mbak petugas tersebut memanggil satpam untuk membukakan ruangan yang ada di lantai 2 sambil memberikan kuncinya. Kami pun mengucapkan terima kasih atas izinnya dan kemudian diantar oleh pak satpam tersebut menuju lantai 2 stasiun. Alangkah kagetnya kami ketika kami bukan diantarkan menuju ruangan kosong, melainkan ke sebuah sholat (祈祷室, Kitōshitsu) yang tersedia khusus, lengkap dengan tempat wudhunya. Ruang sholatnya pun dibuat terpisah antara wanita dan pria, begitu pula tempat wudhunya. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada pak satpam dan masuk ke dalam. Sebelum pergi meninggalkan kami, beliau berpesan, “Nanti kalau sudah selesai tutup aja dan matikan AC serta lampunya. Lalu jangan lupa untuk melapor bagian informasi”. 了解です ! (ryōkai desu, Siap Pak!).

_____ Kami akhirnya berencana untuk sholat berjamaah berhubung tempatnya bisa muat untuk 4-5 orang (area prianya aja). Tempat wudhunya hanya tersedia 1 keran berikut sebuah dingklik atau kursi kecil untuk orang yang tidak bisa berwudhu sambil berdiri. Tak hanya itu, ruangan ini juga tertata rapi sekali dan bersih, jauh dari kesan jorok dan serampangan yang biasa ditemui di musholla di tempat umum di Indonesia. Selain itu, terdapat pula pendingin ruangan dan pewangi ruangan yang membuat suasana ruangan makin nyaman. Kami pun akhirnya bisa sholat jamak zuhur dengan ashar secara khusyu dan nyaman dengan Mizan yang jadi imamnya. Seusai sholat, kami mematikan lampu dan AC nya serta menutup pintu dengan rapat kemudian melapor ke bagian informasi sesuai instruksi pak satpam”. Petugas informasi tersebut kemudian menghubungi pak satpam yang tadi dan bapaknya memeriksa ruangan tersebut. Bapaknya kemudian melaporkan bahwa ruangan dalam kondisi seperti semula. Petugas informasi pun berterima kasih, dan kamipun juga membungkuk sebagai tanda terima kasih atas kesediannya meminjamkan ruangan tersebut. Wahh… nyaman banget kalau kayak begini di tempat umum.

“Semoga para penyedia transportasi di Indonesia bisa membenahi area untuk beribadah supaya jadi lebih baik lagi, tidak jorok dan berantakan biar kayak Jepang gitu~”

Stasiun tampak atas dari jembatan penyebrangan. Gunungnya bagus banget! (source: personal snapshot)

_____ Seusai sholat, kami berdua pergi ke depan gate tiket dan seperti biasa, Sensei sudah lebih awal disana. Kemudian disusul Fedi, Reen, dan Sarah yang datang bersama. Yang lainnya pun datang satu per satu hingga diakhiri oleh Ezwan dan Nurin. Kami pun masuk menuju bagian dalam stasiun dan menunggu keretanya di peron. Tujuan kami selanjutnya adalah Kota Imaichi (今市市), salah satu kota di sebelah Kota Nikkō yang cukup terkenal dengan produksi miras ala Jepang, ya, Sake. Tujuan kami selanjutnya ke kota itu adalah unutk mempelajari bagaimana sake dibuat dan serba serbi sake Jepang. Nomura Sensei telah menghubungi salah satu produsen sake tradisional sebelumnya dan pemiliknya pun menyetujui kehadiran kami untuk dikunjungi sebagai salah satu tempat study tour. Jarak dari Nikkō menuju Imaichi hanyalah 10 menit, jadi kami juga tidak bisa duduk santai karena akan turun sesaat lagi. Kami pun sampai Imaichi juga tepat waktu sehingga benar benar harus dalam “siap jalan mode on”.

Plank Stasiun Imaichi, Prefektur Tochigi (source: Nanaris’ gallery)
Parit di dekat Stasiun Imaichi (source: Nanaris’ gallery)
Plank pabrik dan toko sake (source: Nanaris’ gallery)

_____ Sesampainya di Kota Imaichi, kami langsung menuju tempat pembuatan sake secara tradisional yang dilakukan oleh seorang kakek secara turun-temurun lintas generasi. Letak pabrik sakenya juga tidak terlalu jauh, makanya kami berjalan dari stasiun menuju tempat tersebut kurang lebih 10-15 menit. Kami akan berada di kota Imaichi selama sekitar 2 jam, yaitu dari pukul 13.30 hingga 15.30. Kota Imaichi sendiri merupakan kota kecil sehingga selama kami berjalanpun kami tidak melihat adanya keramaian baik kendaraan maupun orang-orang. Saat akan tiba di pabrik sake, kami melihat plank besar bertuliskan 酒蔵見学:ご希望の方はご予約下さい, Sakagura Kengaku: Gokibō no kata wa goyoyaku kudasai, yang berarti Study tour gudang sake : Bagi yang berminat harap registrasi. “Nah ini nih pasti tempatnya!” pikirku agak sotoy. Dan ternyata benar, saat kami tiba kami disambut oleh kakek pemiliknya.

Pabrik sake tampak depan dan samping (source: Nanaris’ gallery)

_____ Pada bagian luar toko terdapat beberapa tong sake khas zaman dahulu dan toko sakenya sedangkan pabriknya terletak di belakang. Setelah Nomura sensei berbincang dengan sang kakek pemilik, kami pun dipandu oleh beliau masuk menuju lokasi pembuatannya. Di dalamnya terdapat beberapa karyawan yang sedang mengemas dan membuat sake yang tentu saja melihat ke arah kami (ya jelas lah, orang asing pasti menarik perhatian warga lokal). Setelah berada di dalam, sang kakek menjelaskan beberapa tempat penting dalam membuat sake, seperti tempat mencuci berasnya, kemudian tempat memeram berasnya hingga menjadi koji, atau biangnya sake. Setelah jadi koji, barulah dipindahkan ke dalam tong tong untuk fermentasi lanjutan agar menghasilkan alkohol.

_____ Singkatnya, proses pembuatan sake adalah mengubah kandungan karbohidrat yang ada dalam beras menjadi alohol dengan bantuan mikroba. Tahap pertama adalah “memotong-motong” karbohidrat rantai panjang beras menjadi monosakarida (glukosa). Kemudian, glukosa akan digunakan oleh khamir sebagai sumber makanan dan diubah menjadi alkohol sebagai produknya. Alkohol ini kemudian dipanen dan dikemas untuk dijual. Apabila proses fermentasi belum berjalan sempurna, maka bisa didapatkan produk yang bernama Amazake, atau sake manis yang tidak ada-rendah sekali kadar alkoholnya. Pabrik ini secara umum memproduksi 2 jenis sake, yaitu sake tipe ginjō (吟醸) dan daiginjō (大吟醸) , sedangkan tipe lainnya terkadang dibuat berdasarkan pesanan atau produk musiman.

Lantas, perbedaannya apa dari kedua sake tersebut?

_____ Sake tipe ginjō menggunakan beras yang disosoh secara ringan (hingga sekitar 40% ) sehingga rasanya lebih ringan sedangkan daiginjō dibuat dari beras yang disosoh secara mendalam (bisa mencapai sekitar 50% – 60%an) sehingga menghasilkan sake dengan warna yang lebih bening, tekstur yang lebih lembut, dan rasa yang lebih kuat. Karena lebih berkualitas, maka tentu saja daiginjō dijual lebih mahal daripada yang ginjō . Daiginjō cocok dimakan bersama dengan makanan Jepang seperti sushi dan sashimi. Di toko ini, sake tipe ginjō dikemas dalam botol coklat sedangkan daiginjō dikemas salam botol hijau. Setelah menjelaskan panjang lebar seputar sake, kakek pemilik mengajak kami untuk naik ke lantai 2 tempat laboratorium sake berada. Hah lab sake?

Beberapa bagian ruang produksi sake (source: my gallery + Nanaris’)

Kohei mencatat penjelasan dengan seksama (source: Enzo’s gallery)
Mendengar penjelasan tentang sake dari kakek pemilik pabrik (source: Nanaris’ gallery)

_____ Benar, laboratorium sake milik pabrik sake ini sendiri untuk menguji kualitas sake yang dihasilkan. Terdapat alat reflux dan beberapa peralatan gelas untuk melakukan uji kimia dan organoleptik. Di ruangan ini, kami dikumpulkan untuk diajak mencicipi sake-sake yang dihasilkan. Sambil menunggu sake-sake tersebut datang, kami disuguhi beberapa camilan berupa kacang dan kue kering serta mendengarkan penjelasan kakek pemilik seputar gelas sake. Jadi ternyata, untuk meminum sake itu tidak melulu dari gelas kaca atau keramik kecil, tetapi banyak juga bahan dan bentuk lainnya. Sebagai contoh, gelas dari bambu untuk memberikan suasana yang lebih tradisional, gelas dengan akustik mirip peluit untuk memberikan kesan seperti sedang meniup peluit saat minum, serta gelas dari bahan topi cumi-cumi yang memberikan sedikit flavor seafood ketika diminum (agak letoy gitu yang ini gelasnya)

Laboratorium sake (source: personal snapshot)
Sarah dan gelas sake dari topi cumi-cumi (source: Nanaris’ gallery)

_____ Akhirnya sake pun tiba, diantarkan oleh karyawan pabrik ke masing-masing meja. Karena beberapa dari kami tidak meminum sake, maka sake yang diletakkan di meja kamipun kami berikan kepada teman lainnya yang bisa minum sake setelah kakek pemilik pabrik selesai menjelaskan dan turun ke bawah. Sebelum kuberikan kepada Enzo, aku memotret dulu bentuk sakenya, setidaknya biar aku tahu seperti apa sih rupanya sake yang dijelaskan tadi. Ketika tutup gelas dibuka, bau alkohol langsung keluar dan menyengat hidungku. Baunya seperti bau tape, tapi lebih kuat dan tidak ada aroma khas seperti tape (susah menjelaskannya, pokonya baunya kuat aja tapi ngga ada rasa-rasa). Beberapa orang yang bisa minum pun sepertinya juga tidak kuat menghabiskannya, mungkin karena ini pertama kalinya mereka minum sake. Dari sekian orang yang ada di ruangan, hanya 3 orang yang bisa bersih gelasnya, yaitu Nomura Sensei, Kohei, dan Enzo (Bosh hampir habis sih).

Sake yang disuguhkan oleh pemilik pabrik. (kiri) daiginjō , (kanan) ginjō (source: personal snapshot)
Beberapa camilan yang disuguhkan (source: personal snapshot)
Berfoto dengan pak pemilik pabrik sake (source: Enzo’s gallery)

_____ Karena jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, Sensei pun mengajak kami untuk turun dan menuju toko yang ada di depan pabrik. Di dalam toko sudah ada kakek pemilik pabrik yang berdiri di tengahnya dan menunjukkan kami beberapa barang yang dijual di toko ini, mulai dari sake yang sudah jadi, beberapa makanan olahan beras non sake, dan barang barang lainnya seperti gantungan kunci. Beberapa dari kami tampaknya membeli sesuatu untuk oleh oleh seperti Fedi dan Camille. Setelah berbelanja, kami keluar toko untuk berfoto bersama dengan kakek pemilik. Seusai berfoto, kami pun mengucapkan salam dan pergi meninggalkan tempat tersebut menuju Stasiun Imaichi.

Suasana sore yang tenang di Stasiun Imaichi (source: Nanaris’ gallery)
Tiket menuju Tokyo tempat selanjutnya (source: Nanaris’ gallery)
Tombol buka dan tutup pintu di kereta menuju Utsunomiya (source: personal snapshot)

_____ Sesampainya di stasiun, kami berjalan menaiki tangga menuju peron 2. Kereta yang akan kami naiki adalah kereta menuju Tokyo, namun kami bukan pergi ke Tokyo melainkan menuju Utsunomiya. Ya, karena barang bawaan kami masih berada di hotel yang kami tempati kemarin di Utsunomiya. Sesampainya di hotel, kami langsung bertemu dengan resepsionis untuk membukakan tempat penyimpanan tas-tas kami. Setelah mengambil tas, kami bergegas menuju stasiun Utsunomiya untuk pergi ke tempat selanjutnya, yaitu stasiun Oyama. Kali ini kami akan menaiki kereta menuju prefektur sebelah yaitu Prefektur Kumpul Kuda alias Gunma (群馬県). Karena sudah pukul 17.00, kami harus bergegas menuju stasiun agar bisa menaiki kereta yang berangkat pada pukul 17.39 menuju Stasiun Omiya. Syukurlah kami sampai Stasiun Utsunomiya tepat waktu sehingga bisa masuk gate dan menunggu kereta yang akan datang tanpa perlu terengah-engah. Pada pukul 17.39, kereta pun datang dan kami masuk ke dalam kereta tersebut. Kereta dijadwalkan sampai di Stasiun Omiya pada pukul 18.10.

_____ Setelah sampai di Stasiun Omiya, kami diharuskan transit ke jalur lain untuk berganti kereta menuju Stasiun Isezaki (伊勢崎). Tapi di tengah perjalanan, Sarah mendadak ingin membeli sesuatu di sebuah toko dan memintaku untuk menemaninya. Akupun menemaninya membeli sarung tangan yang lebih tahan dingin dan makanan untuk mengisi perutnya yang sedang tidak enak saat itu di sebuah toko di dalam stasiun kemudian baru berjalan menuju peron yang dimaksud. Alangkah celakanya waktu itu, ternyata kereta sudah berangkat dan kereta selanjutnya baru akan tiba 15 menit kemudian. Beberapa chat LINE dari teman teman lainnya sudah membanjiri HP ku dan Sarah, menanyakan dimana kami. Sarah pun menjawab bahwa ia membeli sesuatu dan mengajakku untuk menemaninya agar aku tidak disalahkan. Sungguh, suatu hal yang sebaiknya tidak ditiru dan tidak perlu untuk terjadi kedua kalinya, cukup sebagai pembelajaran untuk kami semua.

Mesin-mesin tiket di stasiun (source: personal snapshot)
Dekorasi bianglala di depan Stasiun Isezaki (source: personal snapshot)

_____ Setelah kereta menuju Isezaki sampai di Stasiun Omiya, kami pun langsung naik dan berharap bahwa tidak ada yang marah, terutama Nomura Sensei. Saat berhenti di stasiun selanjutnya, rupanya ada wajah yang kukenal masu, yaitu Kohei. Hah? Kohei, ngapain dia baru masuk sekarang di stasiun antah berantah. Akupun menanyakan padanya, “Kohei, ngapain kamu disini? Nungguin kita kah? Waduh maaf banget kalau sampai ngerepotin”. “Kohei pun menjawab, “Yaudah nggak apa apa. Jangan diulangi lagi ya. Jadi siapa yang tadi yang bermasalah?”. “Aku Kohei. Aku yang mengajak untuk nemenin beli sarung tangan dan makanan soalnya perutku nggak enak habis makan siang tadi. Jadi aku yang salah” Kata sarah sambil tertunduk. Kemudian Kohei pun menjawab dengan bijak, “Yowis, nanti aku coba bilang ke Nomura Sensei, tapi kalian juga jelasin ya. Nanti kita turunnya di Stasiun Isezaki”. OK Kohei!!! Sesampainya di Stasiun Isezaki pada pukul 20.08 (terlambat 20 menit dari waktu yang direncanakan Sensei), kami langsung menemui rombongan dan meminta maaf kepada Nomura Sensei. Nomura Sensei tampaknya let it slide terhadap masalah tersebut, tapi aku masih kurang yakin apakah ia benar benar sewoles itu. Yasudahlah~ yang berlalu biarlah berlalu yang penting ambil hikmahnya aja…

_____ Kami akhirnya keluar dari Stasiun Isezaki dan didepannya kami melihat sebuah bianglala bersar berlampu hias yang berputar (hanya dekorasi) yang menghiasi stasiun di tengah musim dingin ini. Maklum, di suhu sedingin 4 derajat ini pasti lebih tenang jika melihat dekorasi semacam itu, terlebih setelah ada masalah seperti barusan. Kami berjalan menuju hotel yang jaraknya hanya sekitar 10 menit berjalan. Ya, masih sama dengan sebelumnya, kami juga menginap di hotel bisnis Tōyō yang bangunannya lebih tinggi daripada yang ada di Utsunomiya. Sesampainya di dalam, kami langsung check-in dan masuk ke kamar masing masing. Kali ini aku juga tidur sendiri lagi di kamar yang terasa lebih simpel dan sempit dari sebelumnya, namun pemandangannya bagus karena terletak di lantai 20. Seusai membereskan isi tas, aku pun mandi dan mengeluarkan bekalku yang kusimpan sepanjang perjalanan. Karena tadi saat check-in dan mengisi formulir aku melihat microwave di ruang makan di sebelah lobby, aku pun memutuskan untuk pergi kesana. Untunglah, ruang makan sepi sehingga aku bisa memanaskan bekalku dan makan tanpa malu-malu.

Bagian dalam hotel Toyoko Inn Isezaki (source: personal snapshot)
Menu sarapan untuk besok yang tertera di ruang makan (source: personal snapshot)
Masjid Kota Isezaki (source: personal snapshot)

_____ Seusai makan, aku kembali ke kamarku untuk mencuci kotak bekal dan membereskannya. Kemudian, aku sholat maghrib yang dijamak dengan sholat isya agar tidak menunda terlalu lama. Seusai sholat, aku keluar dari hotel untuk berjalan-jalan sebentar mencari angin sambil menenangkan pikiranku setelah insiden tadi. Beruntung, aku menemukan masjid terdekat dari google maps yang jaraknya sekitar 1 km dari hotel. Aku ingin mencoba kesana, namun sayangnya saat aku tiba disana, suasananya sedang sepi sekali dan sepertinya akan dikunci oleh orang yang baru saja keluar. Aku akhirnya kembali lagi ke hotel dan bertemu dengan beberapa anak AIMS yang akan mencari makan. Mereka mengajakku untuk makan, namun karena aku sudah makan dan masih kenyang, aku pun menolak. Untung ada Nana dan Gaew yang sepertinya hanya keluar untuk cari perbekalan karena Nana masih kenyang dan Gaew memang tidak makan malam (katanya, di agama Buddha, makan malam hanya boleh sesuatu yang ukurannya lebih kecil dari 1 kepal tangan). Karena itulah kami memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat.

_____ Jarak antara supermarket terderkat dari hotel memakan waktu berjalan sekitar 15-20 menit, tidak terlalu jauh juga. Kami pun hanya berbelanja makanan jadi seperti roti, snack, dan minuman saja di supermarket. Karena aku tak yakin untuk makan siang keesokan harinya, aku pun membeli roti tawar isi tuna agak banyakan serta es krim untuk camilan di kamar hotel. Gaew dan Nana tampaknya membeli lebih banyak minuman daripada makanan (dan Nana pun akhirnya beli makanan juga). Setelahnya kami kembali ke kamar masing masing di hotel. Berhubung belum mengantuk, aku menonton TV sambil makan es krim yang tadi kubeli. Saat jam menunjukkan pukul 11 malam, aku pun tidur agar punya cukup energi untuk keesokan harinya. おやすみ~

Pemandangan malam Kota Isezaki dari lantai 20 kamar hotel (source: personal snapshot)

*Beberapa dari foto dalam slideshow diatas merupakan dokumentasi milik anak AIMS Fall 2018

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: