Fumidasou! 53 – Mentari

_____ Hosh… hosh…. hosh… Kami berjalan cepat menuju bagian dalam Stasiun Utsunomiya agar bisa mengejar kereta menuju tempat tujuan kami selanjutnya. Kereta akan berangkat pada pukul 07.41 sedangkan sekarang sudah pukul 07.30 dan kami baru masuk stasiun yang besar itu. Salah satu kesulitan yang ada di Jepang adalah, bahwa kita belum tentu tersasar di jalan tapi kemungkinan besar akan tersasar di stasiun. Untungnya, barang bawaan kami kami telah dititipkan di hotel karena nanti kami akan kembali lagi saat sore hari sehingga sedikit meringankan beban di punggung kami. Bunyi lonceng kereta pun berdentangan, pertanda bahwa kereta sudah mau berangkat. Karena kereta ini adalah kereta lokal, maka jumlahnya pun terbatas, tidak selalu ada setiap 3-5 menit seperti yang ada di Tokyo, melainkan bisa setengah jam hingga 1 jam sekali. Eh bentar, bentar… Emangnya mau kemana sih?

Tiket kereta menuju Stasiun Nikkō (source: Nanaris’ gallery)

_____ Jadi, di hari ke-2 itu, kami berencana pergi ke 2 tempat, yang salah satunya adalah situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO. Yaps! apalagi kalau bukan Kuil Nikkō Tōshōgu, sebuah komplek kuil tua berikut makam para shogun Jepang. Hah, kuil lagi? Eits, tapi kuil ini agak berbeda dari kuil biasanya yang cenderung sederhana, kuil ini terbilang cukup glamour, setidaknya pada masanya. Perjalanan kami menuju kuil legendaris tersebut dimulai dengan menaiki kereta lokal yang tersedia dari Stasiun Utsunomiya selama 30 menit menuju Stasiun Nikkō. Kuil Tōshōgu sendiri berada di kota Nikkō yang terletak di Prefektur Tochigi, dan sudah dekat dengan tempat kami menginap. Namun, karena akses yang terdekat dan termudah bisa dicapai dari Kota Utsunomiya (宇都宮市), maka Sensei memilihkannya mulai dari sana. Sepanjang perjalanan kereta, kami hanya melihat sawah, dan sawah, dengan sesekali beberapa pemukiman warga. Setelah 30 menit menaiki kereta, kami pun akhirnya tiba di Stasiun Nikkō yang bentuknya cukup klasik dengan aksen warna pink. Nikkō sendiri berarti cahaya matahari (日光) sehingga pas sekali jika stasiunnya berwarna cerah.

Foto di depan Stasiun Nikkō (source: Enzo’s gallery)
Sambil menunggu bis, mari kita lihat Kota Nikkō (source: personal gallery, taken by Mizan)

_____ Untuk bisa sampai ke tempatnya, kita bisa menggunakan bis yang beroperasi di dalam kota. Karena bis datang tidak lama lagi, jadi kami menyempatkan diri untuk berfoto di area stasiun yang indah ini. Kota ini tampak kecil karena tidak ada bangunan yang menjulang tinggi dan yang paling tingginya pun hanya 4-5 lantai saja. Jalanan pun terlihat sepi sekali, dengan hanya beberapa mobil yang lewat di hadapan kami. Saat kami berfoto, salju pun turun sedikit sedikit. Semua anak, kecuali Kohei tampak gembira karena ini adalah pertama kalinya kami melihat salju secara alami. Sayang, salju ini terlalu rintik rintik sehingga setelah menyentuh tanah ataupun disentuh cepat meleleh dan lenyap. Kebahagiaan melihat salju pun tak berlangsung lama karena bis telah tiba di depan kami. Kami pun segera masuk ke dalam bis untuk pergi ke kuil legendaris tersebut.

Jembatan depan Nikkō Tōshōgu (source: personal snapshot)
Batu peresmian Nikkō Tōshōgu (source: personal snapshot)

_____ Setibanya di lokasi, kami melihat sebuah jembatan merah yang membentang di atas sungai yang bening. Jembatan tersebut dinamakan jembatan Shinkyō (神橋), atau secara harfiah dapat diartikan sebagai jembatan dewa. Di ujung jembatan terdapat semacam kuil kecil yang tidak terjangkau oleh jalan lain selain jembatan tersebut. Kami pun hanya bisa memotret jembatan tersebut dari jauh dan kemudian berlalu menuju jalan ke kuil. Jalan ke kuil pun ternyata hanya tinggal menyebrang jalan, dan tada~ sudah sampai di prasasti peresmian dari UNESCO nya. Disini, Sensei mulai menjelaskan kalau ini adalah salah satu dari beberapa warisan budaya dunia yang ada di Jepang dan salah satunya lagi juga akan kami kunjungi besok. Wahh… jadi penasaran seperti apa situs selanjutnya.

_____ Kami pun berjalan masuk sambil menaiki tangga yang ada. Tangga tangga ini tersusun dari bebatuan sehingga cukup berbahaya jika sedang bersalju, becek, ataupun memakai sepatu high heels. Setelah menaiki tangga yang berlapis lapis tersebut, sampailah kami pada jalanan lurus yang berisi bangunan-bangunan tua ala Jepang di sisi kiri dan kanan jalan. Jalanan tersebut sangatlah lebar jika hanya untuk pejalan kaki sehingga kami bisa sambil berfoto foto dulu dengan bangunan dan lingkungan yang ada. Salah satunya yang lagi ingin difoto adalah Sarah, salah satu temanku yang berasal dari Malaysia yang sering berbelanja denganku, terutama kalau belanja makanan halal untuk seminggu. Setelah berfoto, kami mengikuti sensei yang sudah jauh di depan, kemudian berbelok kanan menuju area kuil.

Jalan menuju Nikkō Tōshōgu dari jembatan (source: personal snapshot)

Karcis masuk Nikkō Tōshōgu (source: Shauna’s gallery)

Mading di pintu masuk kuil (source: Nanaris’ gallery)

_____ Sesampainya di loket kuil, Sensei langsung membeli tiket untuk kami semua. 1 buah tiketnya dihargai sebesar 1300 yen untuk orang dewasa, 450 yen untuk anak anak (SD & SMP), dan gratis untuk anak yang belum sekolah. Seusai membayar tiket, kami semua bisa masuk ke dalam kuil tersebut. Di pintu masuk, terdapat papan informasi berupa salam dari berbagai negara (termasuk Indonesia) dan peta daerah kuil pada zaman dahulu. Sejujurnya, kuil ini benar benar dikelilingin oleh hutan pinus yang menjulang tinggi sehingga terasa teduh. Jalanan di area kuil kebanyakan berbentuk kerikil kecil, namun terdapat juga wilayah yang dilapisi conblock. Untuk masuk ke area kuil, kita diharuskan berjalan menanjak ataupun menaiki tangga.

Kuil merah besar di bagian depan Nikkō Tōshōgu (source: personal snapshot)
Kuil 3 monyet (source: personal snapshot)

_____ Begitu masuk ke dalam kuil, terdapat kuil merah besar yang ada di depan pintu masuk kuil. Di seberangnya terdapat kuil bernama “Kuil 3 monyet”. Kuil ini menunjukkan sikap bijak secara keseluruhan yang tercermin dari sikap si monyet-monyet ini. Yang pertama adalah monyet bernama “Mizaru”, monyet yang tidak melihat karena menutup matanya. Maksudnya adalah Tidak melihat yang buruk-buruk. Monyet yang kedua bernama “Kikazaru“, monyet yang tidak mendengar karena menutup telinganya. Maksudnya adalah Tidak mendengar yang buruk-buruk. Monyet yang ketiga adalah “Iwazaru”, monyet yang tidak berbicara karena menutup mulutnya. Maksudnya adalah Tidak berbicara yang buruk-buruk. Secara keseluruhan, monyet-monyet ini mengajarkan kalau kita bisa mengendalikan mata, telinga, dan mulut, maka kita akan menjadi bijak.

“Berarti monyet ke-3 tahu lebih banyak informasi dong dari monyet lainnya?”

_____ Kuil ini secara keseluruhan terbagi menjadi 3 tingkat. Di bagian bawah kuil, terdapat banyak bangunan yang terbuat dari batu serta kayu yang dominan berwarna merah. Bangunan bangunannya terhiasi dengan ukir-ukiran yang kebanyakan berbentuk burung phoenix. Ketika kami datang, beberapa bagian kuil telah tertutup dengan salju yang sudah mengeras (sepertinya bekas semalam). Di bagian ini sangat ramai dengan pengunjung yang berfoto foto, mungkin karena bagian ini banyak sisi yang lebih berwarna.

_____ Di perbatasan wilayah bawah dengan wilayah tengah, terdapat kuil yang bernama kuil raungan naga. Di dalam kuil ini, terdapat biksu yang bisa memandu pengunnjung dalam Bahasa Inggris, jadi banyak dari kami yang datang mengunjungi tempat ini. Untuk masuk ke dalam kuil ini, kita perlu antri beberapa shift hingga bisa masuk ke bagian tengah raungan naganya. Saat di bagian tengah, sang biksu menjelaskan kepada kami kenapa kuil ini bernama demikian. Jadi, kuil ini dirancang dengan akustik agar bisa mengeluarkan suara seperti suara naga ketika seseorang membaca mantra ataupun memukul-mukulkan tongkat ke langit langit. Setelah biksu tersebut melakukan hal tersebut, terdengar suara dari bagian atas kuil namun bagiku entah mengapa tidak seperti suara naga yang meraung. Setelah keluar dari kuil tersebut, aku pun berjalan menuju wilayah tengah.

Beberapa kuil di bagian bawah (source: AIMS Fall 2018 mesh gallery)

_____ Selanjutnya di bagian tengah, aku melihat lebih banyak bangunan yang dihiasi dengan warna dominan putih, hitam, dan emas. Di bagian ini mulai banyak artefak-artefak seperti chandelier dan tong tong sake. Di bagian ini juga terdapat kuil dengan biksu yang menjelaskan tentang filosofi kuil kucing tidur. Sayangnya, aku terlewat untuk mendengarkan isinya sehingga aku pun berlalu saja. Apabila ke arah kanan, kita akan menemukan gerbang menuju bagian dalam kuil, lengkap dengan banyak anak tangga yang terbentang diantaranya. Gerbangnya sendiri tidak terlalu besar dan tidak terlihat mencolok sehingga bisa saja terlewatkan untuk dijelajahi.

Beberapa foto manusia AIMS di Nikkō Tōshōgu (source: personal gallery)

Beberapa kuil di bagian tengah (source: AIMS Fall 2018 mesh gallery)

_____ Di jalan menuju kuil bagian dalam, kita harus menaiki ratusan anak tangga dan menyebrangi jembatan batu. Semua yang ada di bagian dalam sebagian besar terbuat dari bebatuan dan logam yang ditempa, hampir tidak ada warna warni yang mencolok. Di bagian ini juga terdapat pohon keramat dan halaman lentera. Dalam menaiki tangga, kita perlu hati hati karena sebagian tangga dan jembatan batu sudah ditumbuhi lumut saking tuanya sehingga dapat menjadi licin apabila hujan/bersalju. Di bagian dalam juga, terdapat kuil yang menjual jimat serta memiliki tempat untuk menggantungkan harapan. Karena aku tidak tertarik dengan hal seperti ini, jadi aku tidak ikut ikutan membeli jimatnya ataupun menulis harapan pada secarik kertas seperti banyak mahasiswi Filipina dan Thailand. Setelah puas mengelilingi bagian dalam, aku pergi turun ke bagian bawah untuk berfoto dengan bagian bagian yang belum ataupun objek-objek menarik.

Camille, before snowfall~ (source: personal snapshot)
Tulisan doa, keinginan, dan harapan dari para pengunjung di kuil bagian dalam (source: personal snapshot)
Knock knock! Who’s there? (source: personal gallery, taken by Mizan)

_____ Sekembalinya aku ke bagian tengah, aku mulai mengambil banyak foto pada relief-relief yang ada. Di bagian bawah juga ada Mizan yang baru saja keluar dari kuil raungan naga. Aku pun mengajak Mizan untuk berburu foto menarik mumpung masih di kuil ini karena kami dijadwalkan oleh Sensei untuk pergi meninggalkan kuil paling lambat pukul 12.00 dan sekarang masih jam 11.00. Aku pun bertanya pada Mizan, “Nanti makan dimana ya kita? Aku menyimpan bekal yang tadi dimakan buat sarapan lho!”. Mizan pun menjawab, “Lah, kamu bawa kotak bekal? Dih nggak bilang bilang. Aku gak tau mal nanti makan dimana. Semoga saja ada yang aman untuk dimakan”.

Relief naga di beberapa bagian kuil (source: personal snapshot)

Patung dan makam tokoh bersejarah Jepang serta patung singa penjaga (source: personal snapshot)

_____Pada pukul setengah 12 siang, semuanya sudah turun ke bagian bawah kuil. Kami pun 1 per 1 berfoto di depan torii batu yang ada sebagai kenang-kenangan. Setelahnya, kami keluar dari kuil dan pergi ke toko cinderamata yang ada di depan komplek kuil untuk melihat lihat dan membeli oleh-oleh. Kami pun menuruni jalan turun dari kuil bersama dan tiba di halte bis tepat pada pukul 12.00. Tak lama, bis pun datang dan membawa kami ke stasiun yang berbeda, yaitu Stasiun Tōbu Nikkō. Sesampainya di stasiun ini, kami diberikan waktu untuk makan dan beristirahat hingga pukul 13.00 karena kereta menuju tempat selanjutnya berangkat pada pukul 13.08.

Daerah toko cinderamata di luar area kuil (source: Shauna’s gallery)
Foto sebelum pulang (source: personal gallery, taken by Mizan)

_____ Di stasiun Tōbu Nikkō, kami pun berpisah untuk mencari makan masing-masing. Tapi, aku dan Mizan tetap pergi berdua untuk makanan yang aman untuk muslim. Kami pun menemukan sesuatu yang unik di stasiun ini lho! Apa itu, nantikan di postingan selanjutnya!

*Beberapa dari foto dalam slideshow diatas merupakan dokumentasi milik anak AIMS Fall 2018

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: