Fumidasou! 45 – Onsen

_____ Seusai puas berkeliling kuil hutan, kami pun menuju kawah Oowakudani yang ada di puncak gunung Hakone ini. Kami berangkat dari kuil hutan pada pukul 14.45 dan sampai di gerbang Oowakudani pada pukul 15.15. Namun sayang beribu sayang, disitu tertulis bahwa akses masuk akan ditutup pada pukul setengah 4 dan area Oowakudani akan ditutup pada pukul 4 sore. Gerbang pun tampak sudah tertutup, dengan pak penjaga yang baru saja kembali ke pos setelah menutup gerbang. Duuh, gimana dong, kita bisa masuk nggak ya, pikir semua orang agak cemas. Namun karena kelihaian Kohei dalam berbicara dengan pak penjaga gerbang sambil bernego karena kami jauh jauh datang dari Tsukuba dan banyak orang asing juga, alhasil pak penjaga pun membuka gerbangnya khusus untuk kami sebagai wisatawan terakhir hari ini.

Di tengah kepulan asap (source: Chikaho’s gallery)

_____ Kami pun bisa masuk setelah diberi izin oleh pak satpam, namun hanya sampai sebelum jam 4 sore. Kami pun segera masuk dan memarkir mobil, beruntung area sudah dalam keadaan sepi karena hanya terdapat 4 mobil selain mobil kami di parkiran. Setelah keluar dari mobil, kami mendapati cuaca sedang agak tak bersahabat (atau emang lingkungannya begini) karena sudah mulai tertutupi asap. Pak satpam kemudian menghampiri kami dan mengatakan alasan kenapa ditutup jam 4. Beliau mengatakan bahwa kalau semakin sore, asap dari gunung berapi akan semakin tebal sehingga berbahaya bagi pengunjung. Kata kata pak satpam pun ada benarnya, karena saat ini sedang musim gugur yang cuacanya cenderung dingin sehingga asap yang bobotnya lebih berat dari udara akan lebih mudah untuk turun ke daratan. Kami pun tak bisa berlama lama lagi, langsung saja kami mengunjungi pusat informasi, berkeliling, dan mengambil foto seperlunya.

Telur hitam kuro onsen tamago, ikon dari Oowakudani (source: personal snapshot)

_____ Taisei masuk ke dalam pusat informasi untuk membeli oleh oleh, sedangkan yang lain lebih memilih untuk berfoto dan berjalan di sekitarnya. Suasananya mirip dengan guung tangkuban perahu, namun ini kepulan asapnya lebih tebal lagi. Ya sudah, berhubung waktu tersisa kurang dari 30 menit, maka kami hanya bisa berfoto di sekitar pusat informasi. Beruntung, di sekitar pusat informasi terdapat balkon luas yang dapat kami gunakan untuk berfoto. Di ujung balkon, terdapat bapak-bapak sedang mengangkat telur hitam khas Oowakudani. Telur hitam ini adalah telur yang direbus di air belerang sehingga warnanya menghitam dan dijual saat hangat, alias baru diambil dari kawah untuk menjaga orisinalitas rasanya.

Halo kapten, di puncak gunung ini susah sinyal lho, penuh asap pula. Jodoh jadi sulit terlihat wkwk (source: personal gallery, taken by Enzo)
Foto bareng penutup sebelum asap tebal turun (source: Kento’s gallery)

_____ はい、最初は俺の写真 (Hai, saisho wa ore no shashin). Berfoto di depan kepulan asap yang moku moku (baca: ngebul) ini berasa jadi berfoto di lokasi shooting film action hahaha. Kemudian barulah satu per satu maju untuk foto dan diakhiri dengan foto bersama. Sebelum foto bersama, rupanya Taisei sudah selesai berbelanja oleh oleh. Seketika, kamipun langsung memanggilnya untuk berfoto bersama. Cheese! Apakah yang ia beli? Rupanya ia membeli beberapa bungkus telur hitam (yang sepertinya baru “dipanen” oleh bapak bapak tadi). Banyak amat pak belinya 😀

Oowakudani dari kejauhan saat sore hari (source: personal snapshot)

_____ Oke, 10 menit lagi menuju waktu penutupan. Mari kita pulang gaes! Aku pun tak lupa mengambil gambar terakhir sebelum meninggalkan tempat itu. Tampak jelas dari fotonya bahwa asap sudah makin tebal sehingga secara tak langsung mengusir kami untuk segera pergi. Kami pun kemudian menuruni tempat parkir dan mengucapkan terima kasih kepada pak satpam yang telah mengizinkan kami masuk di waktu yang sempit ini. Pak satpam pun menunduk dan kemudian menutup gerbangnya setelah kami berlalu. “Jadi selanjutnya kenana nih? mau ke onsen kah” tanya Kento kepada kami yang ada di mobil. Kohei pun langsung menjawab ,”ayo aja gaskeun! besok libur ini sih”. “Boleh deh” kami pun ikutan menjawab. “Yaudah hubungin yang di mobil lain gih biar mampir ke onsen dulu sebelum pulang” Kata Kento menambahkan.

_____ Kami pun berpisah dengan Oowakudani dan Danau Ashi seraya menuruni lereng.Asap tebal semakin menyelimuti langit hingga berwarna kelabu di waktu yang semakin malam ini. Karena tidak ada yang pernah mengunjungi daerah ini, maka kami semua pun diminta untuk mencarinya di google maps. Beruntung, Kohei menemukan lokasi onsen yang sejalan dengan arah pulang serta harganya pun yang tak terlalu mahal (hanya 800 yen). Harga tersebut sudah termasuk murah untuk daerah yang dekat dengan sumber mata air panas. Karena semuanya mahasiswa, yaudah ayok aja, apalagi sebagai mahasiswa asing kami tentunya belum pernah mengunjungi onsen sebelumnya. Beberapa orang memilih menolak untuk ikut ke onsen seperti Jo, Sarah, Kanako, dan Chikaho karena lebih memilih untuk berjalan jalan menyusuri kota. Oke, kami pun sepakat dan pergi menuju onsen yang dimaksud.

Bagi bagi kuro onsen tamago di sebuah onsen (source: Chikaho’s gallery)

_____ Sesampainya di onsen, kami ngemil dulu dengan telor hitam yang tadi dibeli oleh Taisei. Rupanya, ia membeli itu semua untuk kita semua lho, yaampun makasih banyak Taisei. Padahal harga per telurnya cukup mahal, yaitu 100 yen per buah, tapi dibagi bagi dengan cuma cuma. Dan siapa yang menyangka, kalau telur yang masih agak sedikit hangat ini dan tempat cuci kaki air hangat yang ada di belakang kami menjadi penghangat di udara malam bertabur gerimis yang dingin ini. Setelah menghabiskan telur yang rasanya gurih dengan sedikit bau belerang tersebut, kami pun masuk onsen sedangkan bagi mereka yang tidak ikut akan pergi ke kota. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke onsen, apalagi untuk kali pertama ini dilakukan pada saat malam yang dingin di cuaca gerimis. Sepertinya menyenangan dan melegakan ya!

Onsen’s lanterns (source: Chikaho’s gallery)
Desain interior onsen low budget yang kita masuki (source: Enzo’s gallery)

_____ Saat masuk rumah onsen, kami berpisah antara pria dan wanita. Setelah berpisah di masing-masing onsen, kita diharuskan untuk memasukkan segala barang kita ke loker berbayar sebanyak 300 yen (tapi hanya untuk deposit saja kok, karena saat kita membuka kuncinya lagi uangnya kembali dari mesin loker). Setelah memasukkan segala barang ke loker kami semua melepas baju hingga telanjang. Ya, ini juga hal yang cukup mengejutkanku karena rupanya di onsen kita diharuskan telanjang bulat (meskipun ada juga beberapa onsen yang memperbolehkan adanya pakaian, tapi tidak banyak). Untungnya, onsen ini sedang sepi sehingga hanya kami ber 6 yang ada di dalam onsen.

_____ Saat memasuki onsen, kita diharuskan membersihkan badan dan rambut kita dengan sabun dan shampo yang disediakan di dekat shower hingga bersih, kemudian baru boleh mencelupkan diri ke dalam pemandian air panas. Byur….. aw, panas juga airnya, kata aku dan Enzo, namun tidak bagi cowok cowok Jepang lainnya. Mungkin karena mereka sudah terbiasa pergi ke onsen sebelum sebelumnya. Jika tidak kuat berlama lama, kita juga bisa mengangkat tubuh kita dari pemandian untuk menghurup udara segar ataupun membilas dengan air dingin, baru kemudian mencelupkan lagi ke air hangat. Oh iya, jangan berpikiran jorok ya selama di onsen mentang mentang sedang bertelanjang bulat karena ini merupakan adat di Jepang dan ini adalah hal yang sama sekali wajar selama tidak berbuat yang aneh-aneh. Cukup mengobrol santai saja dengan sesama pengunjung onsen / rekan kita. Seusai berendam, kami mengeringkan badan kami dengan handuk yang dipinjamkan dari pengurus onsen. Badanku terasa lebih ringan, tidak pegal, dan lebih lembut (terutama bagian punggung), yeay 😀

Pintu depan onsen (source: Chikaho’s gallery)

_____ Seusai mengeringkan badan dan memakai pakaian, kami kemudian keluar dari rumah onsen dan bertemu dengan tim jalan jalan di luar. Karena sudah menunjukkan pukul 7 malam, kami pun segera menyalakan mobil dan berangkat menuju jalan pulang. Di tengah perjalanan pulang, kami berhenti di sebuah rest area yang berbeda dari saat keberangkatan. Di rest area ini kami menemukan pujasera di lantai 2 sedangkan lantai 1 nya adalah pusat oleh oleh dan swalayan. Karena tidak ada makanan yang halal ataupun terkesan ramah muslim, maka mau tidak mau Aku, Sarah, Reen, dan Nurul pun mengambil rukhsah, yaitu dengan makan nasi dengan salad dan ayam karaage saja sebagai risiko ter-ringan (karena yg lain banyak yg berbahan dasar babi, ataupun mengandung ekstrak babi seperti ramen).

Makan malam di sebuah rest area menuju Tokyo (source: Chikaho’s gallery)

_____ Hal yang unik dari tempat pujasera di rest area ini adalah pelanggan yang membeli makanan mendapatkan koin besar seukuran telapak tangan yang bernomor. Jika makanan sudah jadi, koin yang dibawa oleh pelanggan yang memesan makanan tersebut akan berkelap kelip dan mengelurakan suara. Wah lucu dan praktis juga ya. Seusai makan, kami mengembalikan nampan berikut peralatan makannya ke masing masing tokonya karena dalam budaya Jepang, pelangganlah yang seharusnya mengembalikan peralatan makan ke penjual (kecuali diberikan pengecualian khusus). Seusai mengembalikan, kami pergi ke bawah untuk membeli oleh oleh ataupun camilan untuk dimakan dalam perjalanan pulang.

Suit Jepang. Yang kalah taruhan jajanin es krim (source: Chikaho’s gallery)

_____ Sesampainya di swalayan di lantai bawah, entah kenapa ketiga cowok diatas tiba tiba mengadakan taruhan (mungkin terkait suatu hal sebelum tamasya ini, idk) untuk mentraktir eskrim. Merekapun melakukan suit Jepang dan tebak siapa yang kalah? Kohei. Ya, jadi Koheilah yang akhirnya mentraktir kita semua eskrim. Yeaay! Bisa terlihat kan ya dari foto di bawah siapa yan senyumnya agak meringis wkwk. Terima kasih Kohei. Kami pun juga tak lupa membeli camilan yang kering agar tidak rusuh saat dimakan di dalam mobil saat pulang.

Dari foto ini ketauan yang kalah siapa kan (source: Chikaho’s gallery)
Menikmati sebatang es krim di rest area (source: Chikaho’s gallery)

_____ Jam menunjukkan pukul 9 malam, waktunya kita untuk segera pulang. Kami selanjutnya kembali ke mobil masing masing dan melaju melewati jalan tol. Di jalan tol, kami melihat menara Tokyo Skytree, menara tertinggi di Jepang serta masuk ke salah satu menara tertinggi juga di dunia. Kento pun mengatakan kalau Tokyo Skytree bisa kelihatan dari rumahnya di daerah Urayasu, Prefektur Chiba (meskipun ia sendiri belum pernah kesana sih). Perjalanan awalnya mulus mulus saja, hingga pada suatu titik di jalan tol menuju keluar Tokyo, kami terjebak macet. WHAT? Macet, malam malam gini? Ya, karena tiba tiba ada truk terguling sehingga menutup ruas jalan tol dari 3 lajur menjadi 1 lajur. Alhasil, jalanan jadi PAMER PAHA, alias PAdat MERayap tanPA HArapan. Untungnya, polisi, derek, ambulans, dan damkar cepat bertidak sehingga dalam kurang dari setengah jam, jalanan sudah terbuka menjadi 2 lajur. Benar benar kejadian seram ya 😦

Ayuk pulang, udah malem! (source: Chikaho’s gallery)

_____ Akhirnya pada pukul 11 malam lewat, kami sampai di Ichinoya. Kami pun segera mengeluarkan barang barang kami dan mengucapkan terima kasih kepada teman teman yang sudah rela berlelah-lelah menyupir, apalagi ada kejadian macet barusan. Kami menawarkan mereka untuk bermalam di Ichinoya saja dan pulang pada keesokan harinya, namun mereka menolak dan memilih untuk kembali ke kosan/rumah mereka masing masing. Baiklah, では, terima kasih untuk hari ini guys, selamat beristirahat. Kapan kapan jalan-jalan lagi yuk!

Tokyo Night Hot Road (source: Fedi’s gallery)

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: