Fumidasou! 17 – Hanabi

_____ 6 Oktober 2018, hari dimana terdapat festival kembang api skala nasional untuk memperingati musim gugur. Dosen di kelas pun sempat memberitahu bahwa lokasi yang ada di dekat sini, yaitu Kota “Teluk Tanah” (土浦 – Tsuchiura) mengadakan festival kembang api ini. Bukan cuma sekedar festival aja, tapi yang di Tsuchiura ini adalah yang TERBESAR KE-3 SE-JEPANG…. Waaaww, pikiranku sih udah bakalan keren aja nih festival. Di Grup PPI Ibaraki pun cukup ramai yang anak mudanya, mengajak nobar kembang apinya. Ternyata rutenya nggak terlalu jauh, hanya hampir 10 km.

Rute
Dari asrama ke lokasi kembang api Tsuchiura (source: Google map)

_____ Rencana berangkat adalah jam 3 sore dari asrama. Vanya mengabariku untuk mengontak Eli karena Eli yang menentukan assembly pointnya. Karena kata Eli semua akan berkumpul di 7-11 perempatan matsunoya, seperti jalan yang kulewati dengan Takuya, maka aku memutuskan untuk berangkat jam 3 kurang dikit. Selain itu, aku juga memasak dulu, yaitu ayam saus apalah (karena cuma light-fry dengan saus seadanya yang kubawa dari Indonesia aja) plus telur balado. Setelah memasak, aku memasukan makanannya ke kotak bekal, lengkap dengan nasinya di kotak terpisah. Penting untuk membawa kotak bekal kemanapun pergi di Jepang karena selain bisa menghemat biaya makan, bisa juga bagi-bagi dengan teman yang lainnya. Pada pukul 14.55 aku berangkat dan tiba di tempat tujuan jam 3 lewat.

_____ Ternyata masih ada yang mau ditunggu lagi, yaitu kak Ridho dan kak Hadi. Saat itu, yang baru tiba adalah kak Guntur, Nadia, Eli, Raka, dan kak Jabbar. Vanya dan Rira tidak bisa ikut karena ada suatu keperluan. Sambil menanti mereka yang belum datang, aku dan kak Jabbar sholat ashar dulu di parkiran 7-11 yang saat itu udaranya agak dingin (19 ‘C). Kami wudhu di toilet 7-11, dan sebisa mungkin tidak menimbulkan becek di lantainya (karena wudhu di wastafel). Biar gak malu, sebelumnya beli sesuatu dulu, dan aku nyoba beli Dango, ya sejenis sate bola-bola pati beras yang kenyal dengan saus kurumi (walnut). Kak Jabbar pun sedikit bercanda selesai wudhu dan keluar dari 7-11.

J: Ati-ati kalo wudhu di toilet konbini, ntar kejadian “kesucianku ternodai mbak mbak 7-11” kayak gw dulu

A: Hah gimana tuh?

J: Habis wudhu di 7-11 baru beli jajannya. Eh pas bayar tangannya nyentuh mbak”nya dan terpaksa ijin ke toilet lagi deh.

A: Yehh, bisa aja kak!

_____ Seusai sholat, kak Ridho dan kak Hadi pun datang. Katanya ada beberapa teman-teman PPI yang pergi kesana juga, tapi bareng dengan rombongannya yang lain. Jadi… Rombongan kita pun akhirnya berangkat dari 7-11 sekitar 15.40. Di tengah jalan, kami berhenti sebentar untuk menunggu kak Arga, kak Aiko, dan kak Rafa bergabung dari arah Amakubo. Nahh.. itu mereka, akhirnya ketemu juga! Mereka pun bergabung dengan kami menyusuri jalan menuju Tsuchiura melalui trotoar jalan raya provinsi. Sebenarnya rute jalannya dari 7-11 hanya lurus dan lurus, itu saja sampai menemukan perempatan besar dimana belok kiri adalah Tsuchiura, lurus adalah Ushiku, belok kanan adalah Ami.

habis-ashar-di-7-11.jpeg
Berangkat dari assembly point, 7-11 matsunoya (source: personal snapshot)

_____ Di perempatan besar itu kami berbelok ke kiri dan melalui jalan dengan trotoar yang lebih kecil lagi. Bahkan, terkadang trotoar nya hanya memiliki 2 ruang jalan sehingga kami harus berbaris agar memberikan ruang di bahu trotoar 1 nya. Mulai pergi menjauhi kota dan kami sampai di pinggiran kota Tsukuba dimana rumah-rumah pedesaan mulai tampak, pertokoan kecil, serta sawah pun mulai terlihat. Dan mulai memasuki pinggiran kota, trotoarnya pun tetap kecil, hanya 2-3 lajur saja, komplit dengan teksturnya yang mulai tak mulus.

Jalan sepi 20
Gunung Tsukuba dari Kejauhan (source: personal snapshot)

_____ Kami terus mengayuh, hingga berhenti di suatu pertigaan. Lurus ataukah belok kiri? Raka pun memutuskan untuk belok kiri. “Lu pernah lewat sini rak? Lu tau daerah sini?”, tanya kami penasaran. “Kaga juga sih, cuma seinget gw kalo lurus ntar sampenya ke AEON Mall Tsuchiura, kiri ke arah stasiunnya”, jawabnya dengan nada khas sunda yang cukup tebal. Akhirnya kami berbelok kiri dan melewati perumahan warga. Bangunan rumahnya tampak unik dan apik, rumahnya pun besar. Sepanjang jalan ini kami hanya bertemu orang tua, orang lansia, dan aki-aki mbah-mbah yang sedang berjalan santai serta menggelar tikar (mungkin mau nonton kembang api dari jauh). Semakin kami mengikuti jalan, semakin tampak ramai dengan orang-orang yang menyiapan peralatan barbeque, coolbox, dan sebagainya yang intinya adalah peralatan camping.

Mobil mulai padat
Mobil-mobil mulai memadati area sawah bung! (source: personal snapshot
Gelar lapak lagi
Mulai banyak yang gelar lapak mang wkwkwk (source: personal snapshot)

_____ Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah perempatan yang dijaga ketat oleh polisi. Nahh ini dia nih tempatnya kayaknya, seru kami. Kami memarkir sepeda sebaris dengan orang Jepang yang parkir disitu (nggak ada pembatas parkirnya sih, tapi do what the locals do aja). Setelah itu, kami berjalan melewati rumput liar yang meninggi, menaiki lereng, dan melewati jembatan. Oooh, rame banget ini. Sampai ada banyak pedagang, orang gelar tiker, bahkan ada yang sampai udah mabok-mabokan duluan. Kami berjalan perlahan menembus keramaian karena hanya tersisa 1 lajur trotoar. Lewat jalanan mobil?? Ohhh tidak bisa, PAMER PAHA (PAdat MERayap tanPA HArapan) nih, alias MACET. Pengen nyebrang ke sisi lainnya? Siap siap di prittt sama polisi.

Menuju kembang api
Baru parkir sepeda, siap berjalan menuju tepi sungai untuk gelar lapak juga (source: personal snapshot)
Ka Hadi
Mau nyebrang… Susah banget karena ruame pol kayak jam pulang kerja (source: personal snapshot)
Hampir sampai
Yosshh… Udah mau sampe jembatan. Tinggal lurus dikit lagi dan turun belok kiri (source: personal snapshot)

_____ Kami terus berjalan lurus perlahan, hingga melewati underpass berisi pedagang kaki lima. Beberapa meter setelahnya tampak jembatan yang menjadi tujuan kami menggelar lapak. Kami pun terus berjalan dan tidak lama sampai juga di jembatannya, diatas sungai yang memiliki delta berumput yang bisa kami gunakan untuk meletakkan alas duduk.. Di atas jembatan, kami memantau daerah sekitar, mencari spot kosong yang bisa ditempatin rame-rame. Aha! akhirnya kak Arga menemukannya di bawah jembatan, di tepi sungai yang penuh dengan rumput. Kita pun mengikuti kak Arga turun melewati rerumputan lagi. “Yooshhh… disini aja. Gelar tikernya dahh yang lebar”, kata kak Guntur.

Stand makanan
Penjual makanan dan cinderamata mulai memadati ruas jalan (source: personal snapshot)
Ka guntur
Pak polisi harap bersabar, ini ujian. Maju kena mundur kena, kiri nyemplung sawah, kanan keserempet mobil. (source: personal snapshot)
Senja + kak arga
Senja yang membelakangi langkah kami (source: personal snapshot)

_____ Pukul 17.00, lembayung senja mulai mewarnai langit Tsuchiura, dan waktu maghrib pun setengah jam lagi tiba, begitu pula dengan waktu mulai festival kembang api dalam 1 jam. Sambil menunggu waktu maghrib tiba, kita mulai menyusun 3 lembar tikar plastik yang telah dibeli sebelumnya. Tapi, hal yang mengerikan sudah ada duluan di lokasi, yaitu rumput rumput keras yang terdapat diantara rerumputan tepi sungai, yang siap mencoblos karena kerasnya. Para cowok pun berburu rumput dulu untuk dipatahkan (dipatahkan loh, bukan disobek atau dicabut saking kerasnya) sedangkan para cewek unpack the meal box. Sekitar 15 menit, tempat kita akhirnya “steril ” dari rerumputan keras tersebut. Saatnya menggelar karpet kulit rusa merah… eh salah tiker plastik wkwkwk.

Piknik B 50
Gelar karpet dan nyaam… Piknik nonton kembang api bareng PPI Ibaraki (source: Rahmat Hadi Saputro’s collection)

_____ Adzan maghrib dari hape Nadia akhirnya berdering. Beberapa dari kami sholat duluan dengan masih dalam kondisi wudhu dari ashar, sedangkan beberapa yang lain wudhu menggunakan air minum (air sungainya nggak menjamin bersih soalnya gelap, lagian rame juga makin deket sungai). Selain ada yang sholat, sisanya jaga lilin  tikarnya agar tidak berterbangan karena anginnya semakin kencang. Kencangnya angin bukan main karena plastik snack milik pengunjung juga ada yang berterbangan, begitu pula botol-botol PET minuman. Setelah semuanya sholat secara bergiliran, waktunya poto-poto, sebelum festivalnya dimulai.

_____ Aroma cumi bakar dan takoyaki menyerbak dari pedagang yang berada di jalan setapak pinggir tepi sungai. Oh, tidak lupa bau ubi bakar yang semriwing~ tertiup oleh kencangnya angin yang mengalun. Ditambah lagi dengan suara anak-anak yang ribut di toko permen apel, sungguh menggoda iman buat datang dan beli. Tetapi, niat untuk jajan kami tertunda dulu karena kotak bekal makan malam sudah pada dibuka. Ada yang membawa sosis, telur dadar, nugget, ayam, jus apel, teh hijau, dodol, krupuk kulit, emping (hei hei kok jadi makanan Indonesia?). Rupanya kak Aiko baru balik dari Indonesia waktu itu sehingga masih ada “plunder” nya. Kami pun makan sebelum acaranya dimulai.

_____ 17.50, 10 menit menuju awal mula festivalnya. Angin bertiup semakin kencang, layaknya badai di depan mata. Kencang, sampai suara keramaian pun beradu dengannya. “Ini mau ujan ya?”, tanyaku yang belum familiar dengan cuaca Jepang. “Gak tau mal, kayaknya di ramalan cuaca tadi juga bilangnya cerah sih”, jawab kak Arga. “Tapi ya mau dibatalin ya gimana, pemberitahuannya juga kan udah dari jauh-jauh hari acaranya”, sambung kak Guntur. Kami hanya berharap semoga gak hujan, karena akan repot, sangat repot, di kerumunan banyak orang, di ruang terbuka yang hanya beratapkan langit.

_____ Dor, pyuuu, dueerr… Bunyi kembang api pun terdengar. Tampak di langit mulai berwarna warni. Wahh, gede gede ya kembang apinya. Formasinya juga bagus, nggak salah deh bener bener No.3 se-Jepang. Kemeriahan kembang api berlangsung hingga pukul 19.00, hingga saat itu ada waktu kosong sebentar.

Aka 20
真っ赤 (source: personal snapshot)
Ao 20
紺 (source: personal snapshot)
Midori 20
緑 (source: personal snapshot)
Kin 20
黄色 (source: personal snapshot)
Ki 20
流れ星 (source: personal snapshot)
Murasaki 20
カビの花火 (source: personal snapshot)

_____ “Ini kembang apinya sampe jam berapa sih? pengen jajan deh.” tanyaku. “Kak Akmal pengen jajan? Aku bareng dong sama kak Nadia juga.” kata Eli. Oke dehh, yuk naek. Eli dan Nadia pun memanjat lereng rumput yang agak bertangga sedangkan aku memanjat yang agak curam karena cukup memotong. Sayangnya yang curam ini tidak berakhir mulus, karena ketika sampai di atas lereng aku justru mendapati toilet umu, euuhh baunya. Kami pun menyatu kembali dan berjalan menuju jalan raya bawah jembatan. Jalanan penuh sesak, ramai bukan main, benar benar dipadati oleh manusia yang berlalu lalang melihat maupun jajan, seperti pasar malam. Sesampainya di “kolong jembatan”, aku membeli makanan yang wajar-wajar aja. Entah dorayaki atau castella (kata Nadia), aku beli aja yang rasa coklat dan keju. Mereka membeli jajanan ini juga dan cumi bakar titipan Raka. Seusai membeli, kami langsung bergegas kembali ke tikar karena jalanan makin ramai.

Dorayaki 20
Dorayaki apa castella sih? (source: personal snapshot)
Nadia Eli 20
Nadia dan Eli (source: personal snapshot)

_____ Sekembalinya kami di “karpet”, kembang api pun dilanjutkan. Kali ini semakin meriah warnanya, seperti bintang jatuh dan cendawan. Angin pun bertiup semakin kencang, lebih kencang dari jam-jam sebelumnya. The show must go on! Hingga akhirnya salah satu partikel kembang api di langit terpecah dan terbawa angin hingga MENGENAI PENGUNJUNG TEPAT DI BELAKANG KAMI. Betapa menakutkannya angin ini, sampai festival kembang api yang seharusnya membawa bahagia justru membuahkan nestapa, tepat di dekat kami. Bersyukur sih iya, karena aku hanya diterpa angin kembang apinya dan tidak kenapa napa, namun tetap saja mengerikan.

_____ Di sisi atas lereng, pecahan kembang api pun menyambar salah satu tenda pedagang dan membakar habis kanopi jualannya. Untungnya pemilik tokonya selamat dan sepertinya dagangannya tidak ludes terbakar. Itu baru yang di sisi utara jalan, yang hanya kami lihat, mungkin saja ada lagi korban di sisi barat maupun sisi lainnya. Sure is, chaotic firework festival to be said… pikirku. Suara sirine polisi, mobil ambulans, dan damkar pun mulai bersahutan, meraung-raung di jalan raya. Polisi kemudian menyerukan instruksinya lewat Toa nya yang intinya harus cepat evakuasi pengunjung, bubarkan festivalya. Sedih, iya, karena tidak menonton festivalnya sampai puncak acara. Kami pun berjalan pulang setelah membereskan tikar dan makanannya. Sumpek, sesak, penuh, itulah yang dirasakan ketika berjalan menaiki jalan lereng yang setapak. Evakuasi polisi pun dibekali dengan bis Tsuchiura-kota sekitarnya dalam jumlah banyak agar mempercepat mobilisasi.

_____ Kami pun berjalan pulang, menuju parkiran sepeda yang seharusnya bisa ditempuh dengan berjalan 10 menit, kini menjadi 20 menit lebih akibat jalan yang dipadati lautan manusia. Kami langsung pulang, menyusuri jalan yang sedikit berbeda dari jalan berangkat tadi. Jalanan yang kami lewati pun gelap, muram, karena tak ada lampu, ditambah dengan kengerian kembang api tadi yang mengenai pengunjung tepat dibelakang kami. Geng Ibaraki pun mengabariku kondisi di sisi timur sungai, karena katanya mereka disana dan tidak ada apa apa. Hanya riweuh dengan mobilisasi saja. Rasanya ingin cepat lupa kejadian ini, tapi perasaan bercampur-aduk antara senang, sedih, dan takut.

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: