Fumidasou! 13 – Kōhei

_____ Sabtu,  5 Oktober 2018, malam. Salah seorang teman berkebangsaan Jepang mengajak anak-anak AIMS untuk ikutan panen di kebun milik seorang petani. Ajakan tersebut dinilai positif karena kita sekalian “makrab” kecil kecilan lah, apalagi belum sibuk dengan kuliah di Jepang. Aku merespon bahwa diriku “PENGEN IKUT CUY!”. Namun, karena saat itu banyak yang belum memiliki sepeda, ada belum tiba di Tsukuba, ataupun ada mager untuk pergi pagi, maka hanya aku yang diajak olehnya besok. Setelah subuh, sekitar pukul 6 pagi ia datang ke depan asramaku sambil membawa sepeda sport nya yang berwarna hitam.

_____ Namanya Kōhei Saito (齊藤滉平), umur… belum diketahui (karena tabu di Jepang untuk menanyakan umur kalo belum deket), orang Jepang (yaiyalah), jurusan pertanian. Kohei tinggal di asrama 7B, tepat sebelah asramaku, makanya gercep banget baru dichat udah nongol. Orangnya mungkin agak berbeda dengan orang Jepang kebanyakan yang tampak clean & clear, Kohei ini lebih mirip orang ASEAN warna kulitnya yang rata rata sawo matang. Orangnya atletik banget karena dia hobi trekking dan sepedaan, maka gak heran kalo badannya pun tegap banget.

Sarapan 20
Sarapan dulu kuy sebelum berangkat (source: personal snapshot)

_____ Setelah ngobrol obrol dikit, kita baru cus menggowes ke arah Global Village untuk menjemput Mika. Kita melewati jalur sepeda kampus dalam (kok ala IPB) biar ga beradu sama kendaraan dan motong jalan juga. Oh iya, Kohei juga sebelumnya pernah mengikuti AIMS lho, ke Malaysia selama 3 bulan tapi bulan ke 4 nya cabut jalan jalan ke Indonesia selama sebulan (bad ass juga nii anak wkwkwk). Jadi udah keliatan banget jiwa petualang (a.k.a. nakal batas wajar) nya Kohei ini. Omong-omong soal banyak orang Jepang yang gak jago ngomong Bahasa Inggris atau malu-malu dalam bicaranya, Kohei ini tampaknya bisa dicoret dari list orang Jepang karena Kohei orangnya luwes banget, Bahasa Inggrisnya terbilang bagus untuk orang Jepang, ga malu-malu (malah gatau malu, apa itu malu?), dan banyak teman-temannya yang justru berasal dari mahasiswa internasional (bahkan kenal Vanya, Rira, Raka, Eli, dan banyak anak PPI lainnya juga waaw.

Sekilas, entah kenapa Kohei agak mirip Roy Kiyoshi bagi kita, bener gak sih apa cuma perasaanku aja?

_____ Sesampainya kita di Global Village, tampak mika sednag ngobrol-ngobrol dengan salah satu pemain tennis di tennis courtnya. Setelah itu, kita bertiga bersiap siap untuk berangkat ke kebun milik Nobuyuki-san, salah seorang petani di Tsukuba. Panen ini katanya merupakan panen awal musim gugur dan masih ada 1x panen lagi setelahnya sebelum musim dingin tiba. Jadi di Jepang itu panen bisa dilakukan berkali kali setahun karena memang pertaniannya didukung dengan riset yang mumpuni, bayangkan saja setahun bisa panen berkali kali untuk sayuran dan palawija, apalagi beras sampai Jepang mengalami masalah surplus beras. Iya, masalah, karena berasnya dibiarkan membusuk di gudang “bulog” nya akibat tingginya supply berbanding demand nya serta tidak bisa diekspor secara masif karena beras Jepang tergolong mahal dan tidak semua orang membutuhkan tekstur beras yang lengket di makanannya (Orang asia selatan dan timur tengah budayanya makan beras yang pera’, orang asia tenggara makannya beras yang cukup pulen namun tidak lengket, orang asia timur lainnya sudah self sufficient, dan diluar asia konsumsi berasnya rendah.

“wihhh unik juga ya masalah pangannya surplus, disaat kebanyakan negara malah defisit”

_____ Lokasi lahan perkebunan milik Nobuyuki-san terletak cukup jauh dari kampus, malah sudah hampir perbatasan Tsukuba-Tsuchiura. Kita memotong jalan melewati sawah dan perkampungan agar tidak lewat jalan raya yang agaknya sudah mainstream. “Mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang!” nyanyiku dalam hati karena begitulah rasanya. Jalanan tanjakan, kemudian turunan, menyebrangi parit dengan jembatan kecil, dan dikejar anjing, persis seperti video klip ninja hattori (inget anime masa kecil yang tayang di hari minggu pagi?). Setelah 45 menit menggowes, kita akhirnya sampai di rumah karavan milik Pak Nobuyuki.

_____ Lahannya sebenarnya tidak terlalu besar, karena keluarga Nobuyuki pun bukanlah keluarga petani yang tajir melintir di Jepang, hanya petani sederhana saja. Pak Nobuyuki sendiri sebenarnya tampak sudah agak berusia kepala 4-5, melihat wajahnya yang sudah berumur dan rambutnya yang mulai memutih. Istrinya, Ibu Eri juga tampaknya tidak jauh berbeda dengan suaminya. Mereka dikaruniai seorang anak yang baru mau masuk SD. Mereka tinggal di rumah sederhana ala pedesaan yang terletak tak jauh dari karavannya.

_____ Menurutnya, petani di Jepang terhitung agak makmur, beberapa sangat makmur malah, ditambah lagi dengan dukungan dari pemerintahnya. Gaji petani disini bisa mirip dengan karyawan kantoran, karena UMR per bulan karyawan kantoran entry level di Provinsi Ibaraki berkisar 180.000 – 220.000 yen, atau kalo di-kurs kan berkisar Rp 23.000.000 – Rp 28.000.000 (Sedangkan petani bisa memperoleh hingga 150.000 yen, atau sekitar Rp 19.000.000  tinggi bukan!). Belum lagi biaya hidupnya relatif rendah jika hidup di pedesaan. Namun, seiring dengan berkurangnya populasi Jepang, dan jumlah populasi tuanya semakin bertambah (median age nya Jepang 47 tahun lho, Indonesia 30), maka jumlah petani di Jepang pun kian berkurang. Masalah lainnya adalah anak mudanya semakin sedikit yang mau bertani. Maka tak heran jika beberapa petani “diimpor” dari negara lain untuk bertani di Jepang.

_____ Oke, kita bersiap siap dulu di karavannya, meletakkan tas dan membawa peralatan serta keranjang untuk menampung hasil panen. Pak Nobuyuki sedikit menerangkan bahwa akhir-akhir ini hujan deres banget dan anginnya kencang bukan main akibat badai musim gugur yang melanda. Namun, puncak dari badainya belum terjadi dan diperkirakan akan terjadi minggu-minggu ini. Oleh karena itu, sebelum badai utamanya datang dan mengakibatkan gagal panen yang parah, maka Pak Nobuyuki mengajak Kohei dkk untuk panen sekalian sebelum kebunnya porak-poranda.

“Prakiraan cuaca dan bencana dari “BMKG” Jepang memiliki tingkat akurasi yang tinggi sehingga bisa diperkirakan kapan harus mulai bercocok tanam atau memanen. Mungkin ini juga perlu kita pelajari dari mereka mengingat negara kita  sama juga sering terjadi bencana dan cuaca yang tidak diharapkan sehingga menyebabkan gagal panen dalam skala besar”

_____ Setelah memberikan deskripsi dan instruksi, maka kita semua cuss ke kebun, yeaayy! Kebunnya terletak tidak jauh dari karavan mereka, dan tidak terlalu luas juga (kira kira seukuran 1 trek lari gymnasium IPB aja). Kita bakal panen ubi, dan beberapa sayuran daun khas Jepang. Mulailah kita memakai sepatu boots dan membawa sekop kecil. Kohei dan Pak Nobuyuki memanen dari sisi ujung yang dekat dengan hutan sedangkan aku, Mika, Bu Eri, dan dedek memanen dari sisi yang dekat jalan desa. 1, 2, 3, Tarik! Akhirnya dapat juga 1 ubi dari tanah, diawali dengan Pak Nobuyuki. Setelah menunjukkan cara memanen ubi yang baik, Pak Nobuyuki dan Ibu Eri memanen sayuran daun di sebelah bagian ubi sedangkan untuk panen ubinya diserahkan kepada kami. Karena tanganku kotor dan hapeku di tas, maka yang bisa memotret adalah Kohei dengan kamrea GoPro hero 6 nya.

Pak Nobuyuki 20
Pak Nobuyuki yang baru saja memanen beberapa ubi, FIRST YAM! (source: Kohei Saito’s collection)

_____ Oh iya, tadi dikasih tau juga oleh Pak Nobuyuki kalo ubi (さつま芋 – Satsuma imoyang dia tanam ada 2 jenisnya, yaitu beni haruka dan beni azuma. Beni haruka ditanam di petak tanah yang dekat dengan jalan sedangkan beni azuma ditanam di ujung kebun. Beni haruka memiliki ciri-ciri yang lurus mulus dan panjang, sedangkan beni azuma memiliki ciri-ciri yang membulat, menggembung, dan banyak lekukan. “kenapa nama varietasnya kayak nama orang aja? haruka yang cewek dan azuma yang cowok?”. Yaaa, aku nggak tau, suka suka yang nemuin varietasnya lah, mungkin biar sesuai dengan morfologi si ubi nya?? who knows!

Ubi 20
Beni azuma and beni haruka satsumaimo (source: Kohei Saito’s Collection)

_____ Ya, se~ no~! Tercabutlah satu-persatu ubi ubi di lahannya. Aku dan Mika nggak mau kalah ni dengan Kohei yang emang kuat narik ubinya. “Kita kuat kok sebenernya, cuma emang lagi loading aja wkwkwk” gumamku. 1, 2, 3, Tarik lagi!! Dan kali ini langsung dapet segambreng (pantesan berat banget). “でかっ!” alias gueedeee bangeeet, reaksi Mika melihat salah satu ubinya yang super gede. Bu Eri yang melihat dari kejauhan pun mendatangi kita dan ikut ikutan mengatakan “De-ka’!!!”. Waah, salut deh sama keluarga Nobuyuki, ubi jumbo size gini sepertinya akan laku keras di pasar. Apalagi musim gugur merupakan musim yang memang ramai akan ubi, tampak di supermarket” ubi dijajakan dengan bombastis.

Mika 20
Panen ubi seraup bareng Mika (source: Kohei Saito’s collection)

_____ Tak lama, gerimis pun turun. Karena Bu Eri dan si dedek sudah selesai panen sayurnya, mereka pun langsung bergegas ke lahan ubi untuk memanen ubi yang emang banyaak banget. Pak Nobuyuki pergi ke suatu tempat dan kembali dengan mobil SUV nya (kayak Da***tsu G**nd M*x gitu bentuknya). Ia pun membuka bagasi mobil dan mengeluarkan krat untuk menampung hasil panennya. Kami semua pun bergegas memanen ubinya sebelum hujan menderas. Akhirnya tak lama kemudian, semua ubi sudah selesai dipanen dan daunnya dibiarkan begitu saja di atas tanah. Ubi-ubi tersebut dimasukkan ke dalam krat yang sudah dikeluarkan. Bu Eri langsung lalu membuka IPadnya (sepertinya IPad tahun 2014an)  dan memotret hasil panennya untuk dipasarkan. Untungnya, gerimis reda saat itu, mungkin cuma gerimis numpang lewat~~

Petani punya mobil yang lumayan oke dan IPad?? Woow bangettt. Bahkan petani yang ada di jalan mau ke arah masjid Tsukuba punya Lexus loh di garasi rumahnya. Petani rasa direktur ini mah:D

Ibu dan adik Nobuyuki 20
Bu Eri dan putrinya sedang memanen ubi (source: Kohei Saito’s snapshot)

_____ Okeeyyy,, finished!!! Setelah memasukkan semuanya ke krat dan ke mobil, kami kembali ke karavan. Disana, kami disuruh cuci kaki dan tangan serta disuguhi teh anget (kayak di Indonesia yaa). Kemudian kami diberi beberapa hasil panennya, ubi dan sayuran daunnya. APAAAA??? Seriusan ini gapapa Pak, Buk? Ini banyak banget lho?  Iya gak apa apa, kata mereka dalam Bahasa Jepang. “Ini bentuk terima kasih kami karena sudah membantu panen, karena badai akbarnya datang nanti malam sampai besok. Untunglah udah dipanen pagi ini” kata Pak Nobuyuki. oooooo….. Makasih banyak atas pemberiannya Pak, Buk. Kp n membaginya dan memasukan hasil panen tersebut ke dalam plastik. Setelah itu, kami pamitan dengan mereka dan kembali menggowes ke kampus.  Kohei berharap semoga lain kali anak-anak AIMS lainnya bisa ikutan biar makin semarak. Sesampainya di asramaku langsung membersihkan noda tanah yang ada di dapur. Banyak banget sih, tapi Alhamdulillah dapat stok makanan seminggu. Sekali lagi, terima kasih keluarga Nobuyuki, Kohei, dan Mika untuk hari ini 🙂

hasil-panen-20.jpg
Ubi dan sayuran hasil panen setelah dibersihkan. Saking banyaknya sampai menutupi penampang kulkas (source: personal snapshot)

“Rizki setiap makhluk sudah ada yang mengatur, baik yang disadari maupun yang tidak terduga. Janganlah menyerah wahai insan kosan!”

つづく~~>

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑

%d bloggers like this: