_____ Yeay… hari jumat lagi, eh tapi kini beda! Di jumat minggu pertama fall semester 2018 ini aku sudah memiliki armament berupa sepeda baru (yang seken). Oleh karena itu, aku bisa jumatan dengan sepeda sendiri, tanpa merepotkan bapak-bapak kalo naik mobilnya. Untungnya, hari jumat aku hanya memiliki 2 kelas saja, yaitu plant physiology yang dimulai pada pagi hari dan cell structure & function pada sore hari. Pagi harinya seperti biasa, bangun pagi, masak-masak, eits tapi ada yang beda kali ini saat masak. Ada 3 orang yang baru lagi, sedang masak di dapur, yaitu mahasiswa dari Uzbekistan.
_____ Namanya Asqarbekov Elaman (Elaman biasa aja manggilnya), Umidjon To’lanboyev (dipanggilnya sih umid, tapi aku biasa manggilnya megane umid -umid kacamata-), dan Umidi Isroilov (karena dipanggilnya umid juga kedengerannya di telingaku, aku jadi manggilnya hige umid – umid brewok – biar ga ketuker). Mereka exchange selama setahun di Tsukuba, sama kayak Tony. Eh tapi mereka anehnya 1, mereka HANYA BISA DIAJAK NGOMONG PAKE BAHASA JEPANG, karena kurang bisa Bahasa Inggris. “kok aneh ya??!!” EMANG, aku juga gatau tapi yasudahlah. Mereka tampak sedang memasak sesuatu yang kayak berbubur gitu, apa dah tau namanya susah gitu kebanyakan V nya di telingaku. Da~~n, karena mereka muslim juga, makanya mereka mengajakku buat pergi jumatan ntar. Oke dehh siap, ada temen berangkat jugak.

_____ Jam 08.00, waduh aku harus segera habiskan makanannya dan cuci piringnya karena kelas dimulai pada pukul 08.40 – 09.55. Walhasil, aku pun buru-buru pake sweater dan siap bersepeda ke kelas. Suhunya cukup dingin meskipun cerah, hanya 21 derajat tapi tidak terlalu berangin sehingga aku bisa nyetir dengan santai. Pukul 08.38, tepat sebelum teng banget, aku sudah masuk kelas (budaya deadline di IPB nya belom luntur wkwkwk). Aku mencari kursi dan menemukan Vanya dan Rira duduk di baris ke-4 bagian tengah dari dosen. Aku duduk di baris ke-5, tepat di belakang mereka. Herannya, ternyata pola duduknya 11/12 sama di Indonesia untuk kelas yang 1 ini karena baris 1 dan 2 kosong dan baru mulai ada isinya di baris 3. Hahaha XD
_____ 09.55, kelas pun berakhir. Sempat ngobrol ngobrol sambil minum kopi dari mesin otomatis dengan Vanya dan Rira di lounge lantai 2 gedung 2B, hanya 1 lantai dibawah kelas. Aku bertanya seputar gimana kalo jumatan di Tsukuba pas hari-hari kuliah, bukan seperti pas masih libur kayak minggu lalu.”Oooooh (dengan nada original Vanya yang selalu hepi), jumatan mah jumatan aja kak. Asal jangan ngambil kelas pas periode 3 sama 4 aja, masi icip-icip kelas kan? santai aja kak!”…. ooohh petunjuk baru, catat itu patrick, jangan ambil kelas di periode 3 dan 4 di hari jumat. Oke, aku kemudian turun gedung 2B dan balik ke asrama buat mandi dan bersiap siap.
_____ Seusai mandi, aku ketemu dengan Ezwan yang lagi masak. “Kau mau jumatan ke wan harini?” Tanyaku. “Ah, indak bisa (dengan suara beratnya), aku ada class pukol 12 setengah” kata Ezwan. Oalaah, ada kelas toh nih anak, pikirku. “Oooh, class apa? Tak ambil class yang period 5 atau 6 je di hari jumat?” tanyaku yang agak heran karena ini kan masih minggu percobaan “KRS”. “Ah tak, sebab akuk ada janji dengan Nurin” jawabnya. Ehhhh ini mah modus tollens aduh pak wkwkwk. Yaudah, aku pun berlalu dan menunggu si orang” Uzbekistan di bawah, tapi sampai jam 11.20 tak ada yang nongol. Chat pun kukirimkan, dan katanya mereka ada kelas dobel periode 1 dan 2, jadi langsung cabs ke masjid aja. Ooo yauwiss kalo gitu, aku sepedaan sendiri aja. Liat peta dulu ah sebelum berangkat biar ga nyasar!

_____ Aku bersepeda melewati komplek ichinoya, keluar dari gerbang mobil halte ichinoya-nōrin, belok kiri dan lurus terus sampai perempatan. Di perempatan, aku mulai melihat banyak orang sedang bersepeda menuju arah masjid, oh sepertinya mahasiswa yang dari daerah timur tengah atau asia selatan. Aku menunggu sampai lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Aku memencet tombol yang ada di tiang lampu agar lampu cepat merah. Kabarnya, beberapa lampu lalu lintas juga sudah ada yang dipasang semacam sensor gitu, jadi tanpa perlu pencet lampu udah tau kapan harus berhenti sesuai dengan banyaknya orang yang mau nyebrang. Pip, lampu akhirnya menjadi merah dan aku pun bisa nyebrang dengan aman. Bagusnya adalah, meskipun jalanan sepi karena bukan jalan utama, apalagi ngadep arah hutan dan sawah di ichinoya, pengemudi di Jepang benar benar tertib. Berhenti tepat saat lampu merah, berhenti di belakang garis zebra cross, tidak hobi mengklakson, dan ngegas saat lampu benar benar hijau.

Ahhh… Enaknya nyebrang jalan di Jepang. Pembuatan SIM nya benar benar efektif dan harganya pun memang dibuat mahal biar hanya orang yang mampu saja yang bisa nyetir kendaraan (SIM Jepang untuk motor kira kira sekitar 200.000 yen, atau 26 Juta Rupiah). Belum lagi ujian untuk mendapatkan SIM yang benar-benar ketat serta ujian untuk perpanjang SIM yang selektif. Budaya SIM nembak atau mungut di pos ronda kayaknya nggak banget deh di sini~. Semoga di Indonesia bisa diterapkan yang seperti ini agar jumlah pengendara di jalan lebih terkontrol, berikut kelakuannya.
_____ Aku menggowes menyusuri trotoar jalan menuju masjid yang sempit dan emang agak rusak karena bukan jalan yang ramai dilalui banyak orang. Untungnya Tampak sawah dan kebun di kanan kiri jalan, serta rumah warga yang sesekali hadir di tengah lahan tersebut. Gunung Tsukuba pun tampak jelas, baik puncak cowoknya maupun puncak ceweknya (nantai dan nyotai). Kenapa puncak cowok dan cewek, karena konon gunung Tsukuba ini dulunya dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dewa yang memberikan kesuburan tanah dan alam gitu menurut kepercayaan setempat. unik yaa!
_____ Singkat cerita, aku tiba di masjid dan sholat jumat. Seusai sholat jumat, aku pergi ke koperasi masjid, atau bahasa kerennya warung halal masjid. Disana ramai sekali dengan orang yang mau beli barang dari berbagai negara meskipun ukuran warungnya sendiri sangat kecil, hanya seukuran 3×3 m. Aku memotret daftar harganya dan berencana membeli beras serta sosis, nugget, dan daging ayam fillet 2kg. Tapi, karena keranjangnya hanya 1, kuangkut berasnya dahulu dan barang lainnya akan kubeli kemudian. Oh iya, selain waktu jumatan, warung ini juga buka setelah Isya. Namun, apabila kita perlu berbelanja diluar waktu bukanya, kita dapat menghubungi pemilik kuncinya yang terdiri dari 3 orang yang berbeda negara biar memudahkan komunikasinya.

_____ Semua produk daging-dagingan, produk daging, dan roti pratha disimpan dalam keadaan beku minus sekian derajat di freezernya, sehingga awet cukup lama. Sedangkan untuk beras, bumbu, dan mie diletakkan di rak biasa. Makanan disini kebanyakan diimpor, seperti bumbu-bumbu dari timur tengah, saus-kecap-mie dari Indonesia, daging dari Brazil, dll. Kayaknya yang produk Jepangnya sendiri hanyalah daging cincang sejauh ini yang kulihat. Untuk berbelanja, cukuplah dengan berbicara Bahasa Inggris yang sederhana saja, nggak perlu level TOEFL IBT 100++ atau IELTS 9.0 karena yang jaga juga mahasiswa internasional yang kemungkinan besar paham dengan apa yang kita katakan. Nggak perlu ngomong berbahasa Jepang karena kita belanja di toko masjid, bukan toserba ala Nippon. Oh iya, kita perlu juga menyiapkan uang pas biar gak ribet ngasi kembalian (di dalem sumpek antri bro, jangan bikin macet).


_____ “Saya siap nguli!” pikirku. Karena aku membeli beras Jepang seharga 2400 yen (sekitar Rp 300.000) sebanyak 10kg, ya 10 kg. Gak ada beras yang bisa dibeli eceran per kg. Mahal sih, apalagi bagi mahasiswa seperti aku. Namun, jika dibandingkan dengan beras di supermarket Jepang lainnya, harga segitu sangatlah murah karena biasanya beras 10kg paling murah berkisar 3000 yen (sekitar Rp 390.000). Begitu pula daging-dagingan dan produk olahan daging (肉加工品-niku kakōhin), semuanya lebih murah disini dibandingkan supermarket Jepang di Tsukuba (kecuali ada promo ya). Udah murah, halal lagi, combo plus plus deh pokoknya!
_____ Aku mengangkat karung berisi beras tersebut ke dalam keranjang kemudian siap menggowes sampai asrama, ya sampai asrama. Sepeda pun sudah linglung dibuatnya karena susah untuk mengarahkan setir. Untungnya saku pulang bareng dengan orang-orang PPI sehingga setidaknya memberikan rasa aman kalo aku “gedubrak” di jalan (meskipun endingnya aman aman aja). Aku pun tiba di asrama dalam 15 menitan dari masjid. Yang Pe Er selanjutnya adalah gimana cara mengangkat ini karung ke atas. YOSSSHHH, NGANGKAT PELAN PELAN PASTI BISA!! ROSO!!


_____ Yeaay, berasnya nyampe dengan selamat. Untungnya tidak kenapa napa di jalan (bocor, sobek, basah) karena karungnya terbuat dari kertas, yaa, kertas, bukan goni atau plastik. Oke, aku pun ngaso dulu dan masak nasi tentunya. Pip, pip, pip, ganti modenya ke mode masak nasi dan start!. Jam menunjukkan pukul 14.15, waktunya aku siap siap untuk pergi ke kelas cell structure and fuction yang nama gurunya kalo aku lihat agak bule gitu ya, De Mar Taylor, beda dengan kelas pagi tadi yang diajar oleh orang Jepang (meskipun materi disampaikan dalam Bahasa Inggris dan sesekali Bahasa Jepang untuk mahasiswa Jepang yang ngikut di kelas dan ga ngerti artinya). Yoshh, siap berangkat.
_____ Long story short, aku selesai kelas dan itu masih pukul 16.15. Kemudian aku ashar dulu di lorong kampus dan baru pergi ke masjid untuk ngambil belanjaanku yang lain. Aku pun bergegas agar sampai sebelum gelap, dan ya… pemandangan sepanjang jalan menuju masjid benar benar menakjubkan. Bagaimana tidak, angin sepoi sepoi mengalun di pematang sawah yang mulai menguning, lengkap dengan rumah-rumah gaya Jepang yang apik dan berikut papan penanda jalannya di dekat perempatan kecil sebelah TK.



_____ “Waaahhh, udah mau maghrib. Maghriban di masjid sekalian aja kali ya, sama isya nya habis warungnya buka” pikirku. Aku terus menggowes menuju masjid untuk ngambil belanjaan, meskipun langit senja sudah mulai tampak dan jam menunjukkan pukul 17.00. Subhanallah, karena jalan ini menghadap ke barat, maka aku disuguhi pemandangan sunset yang bagus. Langit biru tua berpadu dengan lembayung menghiasi pematang sawah Tsukuba ini. Masjidnya strategis juga lokasinya, di daerah yang tidak terlalu ramai, meskipun sepanjang jalan bisa dijumpai pemakaman ala Jepang.

_____ Akhirnya aku tiba di masjid tepat saat adzan madhrib selesai berkumandang. Muadzin nya adalah seorang anak SMA (sepertinya) yang tampak ke-arab araban. Tapi sayangnya dia tak mengerti Bahasa Inggris, hanya mengerti Bahasa Arab dan Jepang (yaaahhh…. ngomongnya gimana atuh) Singkat cerita, setelah isya aku mengambil belanjaanku dan pulang. Pulang dalam keadaan gelap mencekam karena TIDAK ADA LAMPU JALAN SAMA SEKALI. Hanya ada lampu-lampu dari kendaraan yang berlalu, serta mesin penjual minuman. Rumah warga pun sangat irit dengan cahaya, benar benar gelap. Alhamdulillah, jalan yang harus kutempuh hanyalah lurus, lurus terus hingga perempatan ichinoya dan berbelok ke kiri. Jalan ke masjid memang sungguh epik karena menyuguhkan pemandangan yang sangat memukau, mulai dari alam maupun rumah warganya, namun ketika malam tiba menjadi sangat gelap layaknya pedesaan di Jepang.
“Gulita malam tidak akan mengalahkanku, selama aku memiliki semangat yang bersinar seperti mentari siang tadi”
つづく~~>
Leave a Reply